Kerugian pekerja bila Undang-Undang Ketenagakerjaan direvisi

Apabila UUK direvisi, kondisi kehidupan buruh diperkirakan akan semakin buruk.

Apabila UUK direvisi, kondisi buruh akan semakin buruk./Antara Foto

Wacana merevisi Undang-Undang No 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan (UUK) dikhawatirkan bakal memicu makin banyak tenaga kerja kontrak. Sebab, perusahaan lebih memilih untuk mempekerjakan pegawai dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing ketimbang mengangakatnya sebagai pegawai tetap. 

Dari sisi kesejahteraan, upah yang diterima pekerja sistem kerja kontrak dan outsourcing di bawah Upah Minimum Provinsi atau UMP. Berbeda dengan pekerja tetap yang upahnya disesuaikan dengan UMP. 

Selain itu, pekerja kontrak dan outsourcing tidak mendapat jaminan sosial. Kalaupun ada jaminan sosial, kemungkinan hanya didaftarkan untuk jaminan kerja dan kematian. 

Perbedaan paling mencolok adalah pesangon yang diterima. Apabila pegawai tetap ingin mengundurkan diri akan mendapat pesangon, sementara pekerja kontrak dan outsourcing tidak akan mendapat pesangon, terutama sewaktu-waktu sistem kontrak diputus. 

Perwakilan Gerakan Buruh Bersama Rakyat atau Gerbak sekaligus Sekjen Pusat Konfenderasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Sunarno menolak adanya revisi UU Ketenagakerjaan. Alasannya, UU revisi itu hanya menguntungkan pengusaha dengan membuat sejumlah pasal dalam UU Ketenagakerjaan menjadi lunak bagi pekerja.