KomnasHAM: 32 orang masih hilang usai rusuh 21-23 Mei 

Tim pencari fakta KomnasHAM menemukan penggunaan kekerasan berlebihan oleh Polri dalam penanganan aksi unjuk rasa 21-23 Mei.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM) Beka Ulung Hapsara (kiri) memaparkan kajian dan analisis terkait aksi unjuk rasa dan kerusuhan pada 21-23 Mei di kantornya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (28/10). Alinea.id/Marselinus Gual

Kepolisian menggunakan kekerasan berlebihan (excessive use of force) dalam menangani serangkaian aksi demonstrasi menolak hasil Pilpres 2019 pada periode 21-23 Mei lalu. Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM) Beka Ulung Hapsara hal itu menjadi kesimpulan investigasi yang dilakukan tim pencari fakta (TPF) KomnasHAM.

"Di antaranya terjadi pada BG yang diseret dan dianiaya oknum polisi di Jalan Kota Bambu Utara I, Jakarta Barat dan seseorang yang dianiaya dan dikeroyok anggota Brimob di Kampung Bali, Jakpus pada 23 Mei 2019," kata Beka dalam rilis temuan TPF KomnasHAM di kantornya di Menteng, Jakarta, Senin (28/10)

Setidaknya 465 orang ditangkap polisi dalam aksi unjuk rasa disertai kerusuhan pada periode itu. Sebanyak 74 orang di antaranya masih tergolong anak-anak. 

Beka mengatakan, kekerasan juga menimpa anak-anak yang menjadi peserta aksi. Mereka, kata Beka, mengaku telah dikeroyok, dipukul, dan ditendang. "Itu terjadi saat ditangkap, ditahan dan diperiksa," ujarnya. 

TPF juga menemukan ada 32 orang yang masih hilang usai aksi unjuk rasa dan kerusuhan 21-23 Mei. Menurut Beka, keberadaan mereka tidak diketahui karena minimnya akses informasi terkait admistrasi penyelidikan dan penyidikan.