KPK khawatir rancangan KUHP hambat pemberantasan korupsi

Misalkan saja, pada Pasal 52 dan Pasal 53, menyebutkan, koorporasi dapat ditindak pidana korupsi bila pelaku merupakan pejabat fungsional

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo (kedua kiri) didampingi Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif (kedua kanan) meninjau fasilitas di dalam bus "Jelajah Negeri Bangun Antikorupsi" sebelum melepas keberangkatannya di depan gedung KPK, Jakarta, Jum'at (21/6)./AntaraFoto

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak delik tindak pidana korupsi (Tipikor) untuk dimasukan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pasalnya terdapat kelemahan yang berisiko untuk menghambat langkah-langkah penegakan hukum.

"Saya tegaskan KPK mendukung pengesahan RKUHP dengan ketentuan delik korupsi tidak diatur dalam KUHP. Ada banyak kelemahan kalau itu harus dimasukan dalam KUHP, dan itu berisiko terhadap langkah pemberantasan korupsi yang sedang kami lakukan," Kepala Bagian Perancangan Peraturan dan Produk Hukum KPK Rasamala Aritonang, saat ditemui di kawasan, Jakarta Pusat, Senin (24/6).

Rasamala mencontohkan, salah satu aturan dalam RKUHP pada Pasal 52 dan Pasal 53, menyebutkan suatu koorporasi dapat ditindak pidana korupsi bila pelakunya merupakan pejabat fungsional. Hal itu dapat membuat lembaga penegak hukum tidak leluasa untuk menindak.

"Nah itu akan sulit untuk ditegakan kalau syarat pelakunya harus memiliki jabatan fungsional. Padahal, pendekatan dalam UU yang sekarang enggak gitu. Sepanjang ada hubungannya antara pelaku orang dengan perusahaan, perusahaan dapat juga bertanggung jawab," terang Rasamala.

Dalam menegakan hukum terdapat crime control. Salah satu karakternya dapat memberikan keleluasan bagi penegak hukum untuk menegakan hukum.