Memutus rantai kekerasan seksual di pesantren dan gereja

Kekerasan seksual di pesantren dan gereja kerap berulang. Bagaimana cara menuntaskannya?

Ilustrasi kekerasan seksual. Alinea.id/Oky Diaz.

Beberapa waktu lalu, tujuh santri perempuan di sebuah pondok pesantren di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan menjadi korban pelecehan yang dilakukan BM, pengurus sekaligus pengasuh mereka. Kasus ini seakan menyiratkan rentetan kekerasan dan pelecehan di lingkungan pesantren yang terus terjadi.

Atas dasar keprihatinan rangkaian kasus pelecehan seksual itu, beberapa santri membentuk Front Santri Melawan Kekerasan Seksual (Formujeres) di Jombang, Jawa Timur. Salah satu kasus yang menjadi titik kelahiran gerakan tersebut adalah kasus pelecehan yang dilakukan putra pendiri pondok pesantren di Kelurahan Ploso, Jombang, Jawa Timur pada 2018 lalu.

Kasus itu ditangani Polres Jombang pada 2019. Meski sudah ditetapkan sebagai tersangka, tetapi pelaku belum menjalani hukuman penjara.

Salah seorang penggagas Formujeres, Ayu Rikza mengatakan, kasus itu menggambarkan pengaruh cukup besar dari adanya ketimpangan relasi kuasa antara korban dan pelaku.

“Kedudukan pelaku sebagai anak pengurus pesantren menyulitkan penindakan hukum,” kata dia saat dihubungi reporter Alinea.id, Jumat (27/11).