Pakar soroti penyelesaian perkara secara restorative justice di Kejaksaan

Suparji memaparkan, penyelesaian perkara pidana melalui restorative jutice berbeda konsepnya dengan mekanisme penghentian penyidikan.

ilustrasi. foto Pixabay

Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut), Suparji Ahmad menilai wacana restorative jutice (RJ) yang digulirkan Jaksa Agung ST Burhanuddin sebagai suatu terobosan menarik dalam penegakan hukum di Tanah Air. Alasannya, karena menjelaskan pergeseran pemikiran praktisi hukum yang ingin lepas dari belenggu pemikiran legisme (positivisme) yang memandang hukum hanyalah sebagai aturan perundang-undangan.

Sementara nilai keadilan, kepastian  dan kemanfaatan dari hukum hanya tercermin dari penegakan hukum tertulis sebagaimana bunyi undang-undang.

Diketahui, Kejaksaan Agung mulai menerapkan restorative justice pada penegakan hukum. Dari mulai pelaksanaan pemberian keadilan restoratif di Kejari Cimahi, hingga wacana perluasan penerapan RJ dan penyelesaian tipikor dengan kerugian keuangan negara paling banyak senilai 50 juta.

"Pemikiran Jaksa Agung kini telah mengisyaratkan pergeseran dari legisme menuju pemikiran hukum realisme. Pemikiran hukum realisme memandang bahwa hukum bekerja tidak sebagaimana bunyi peraturan perundang-undangan, hukum itu merupakan manifestasi simbolik para pelaku sosial. Pendekatan pemikiran ini adalah bersifat nondoktrinal artinya bsrdasarkan penilaian atas prilaku masyarakat secara nyata," kata Suparji dalam keterangannya, Selasa (1/2).

"Selain itu, pemikiran realisme lebih mengutamakan kemanfaatan dari hukum. Karena memang hukum itu diadakan adalah demi kemanfaatan bersama masyarakat. Keadilan restoratif  secara teoritis telah lama menjadi perbincangan para akademisi. Dan saat ini Jaksa Agung mencoba mengaplikasikannya," sambungnya.