Pengamat: Partai Golkar perlu mendorong penolakan amandemen konstitusi

Isu menolak amandemen bisa saja digunakan untuk menaikkan elektabilitas Airlangga.

Ketua Umum DPP Partai Golkar, Airlangga Hartarto. Dokumentasi Partai Golkar

Sejumlah spanduk  berisikan permintaan agar Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menolak amandemen Undang-Undang 1945, dengan tujuan memperpanjang jabatan presiden menjadi tiga periode muncul di sejumlah lokasi di wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. Spanduk berwarna kuning itu dipasang oleh Aliansi Rakyat untuk Mendukung Demokrasi (ARMED).

Menanggapi itu, pakar komunikasi politik dari Universitas Mercu Buana Afdal Makkuraga mengatakan, amandemen adalah hak konstitusional semua elemen bangsa. Namun, yang perlu diperhatikan ialah urgensi usulan perlu tidaknya amandemen dilaksanakan.

"Menurut pengamatan saya, tidak ada persoalan fundamental yang mendesak sehingga perlu dilaksanakan amandemen UUD 1945," kata Afdal saat dihubungi Alinea.id, Kamis (9/9).

Menurut Afdal, memang secara tersamar partai politik tertentu seperti PDI Perjuangan menginginkan amandemen terkaitan dengan masa jabatan presiden. Kata dia, partai berlambang Banteng moncong putih ini dapat memetik beberapa keuntungan jika amanademen untuk jabatan presiden tiga periode. Di antaranya masih bisa mengusulkan kembali Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden.

"Meski dalam beberapa kesempatan Jokowi menolak. Tetapi kan belum keputusan final," ujarnya.

Sebaliknya, lanjut Afdal, Partai Golkar perlu mendorong untuk menolak amandemen konstitusi. Tentu saja agar dapat mencalonkan Airlangga Hartarto sebagai calon presiden di pemilihan umum (Pemilu 2024). Apalagi dalam sejumlah survei elektabilitas  kandidat, nama Airlangga sudah mulai menanjak, meski secara prosentase masih jauh di bawah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dan lain sebagainya.