Pelemahan KPK era Jokowi dinilai sulit dibendung

Setiap jilid episode pelemahan sebelumnya, kepolisian, pemerintah, dan partai politik belum melakukan kolaborasi.

Sejumlah mahasiswa berunjuk rasa di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lampung, Jumat (18/10).AntaraFoto

Pelemahan terhadap institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada saat ini dinilai paling sulit dibendung, karena terjadi kolaborasi antara pemerintah, partai politik, dan kepolisian. Terciptanya kolaborasi tersebut lantaran sama-sama merasa terancam oleh keberadaan KPK.

"Kasus Joko Susilo, kasus Budi Gunawan, dan banyak jenderal kepolisian lain yang merasa terancam dengan keberadaan KPK. Singkatnya, ketiganya berkolaborasi, sehingga susah dibendung. Dalam bahasa ilustratif, buayanya sekarang tidak sendiri, tetapi menjadi kawanan buaya untuk melawan cicak yang sama," ujar Direktur Eksekutif Amnesty International  Indonesia Usman Hamid dalam konferensi pers 'Menagih Janji Keadilan untuk Novel Baswedan dan Menyelamatkan KPK', yang berlangsung di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (19/10).

Meski disematkan dalam ilustrasi berkonotasi merendahkan, tetapi KPK tetap bisa memenangkan upaya pelemahan. Sebab, setiap jilid episode pelemahan sebelumnya, kepolisian, pemerintah, dan partai politik belum melakukan kolaborasi.

Semisal, dalam jilid II cicak versus buaya, pelemahan hanya ditunggangi banyak partai politik. Sementara itu, dalam episode jilid III cicak versus buaya, pelemahan KPK dapat dibendung karena hanya memperoleh separuh dukungan dari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Usman Hamid mengatakan, bila kasus Munir merupakan ujian sejarah bagi pemerintahan SBY, maka pada pemerintahan Joko Widodo, ujian sejarahnya adalah Novel Baswedan.