Pemerintah dan parpol perburuk demokrasi Indonesia

"Pilpres yang paling demokratis adalah Pilpres 2004. Setelah itu, turun terus kualitasnya demokrasinya."

Demokrasi di Indonesia dinilai mengalami penurunan dan perburukan kualitas. Pemerintah dan parpol menjadi aktor yang bertanggung jawab. Freepik

"Jangan pernah tanyakan apa yang negara berikan kepadamu karena hasil pemilu akan menentukan pasar yang investor serbu. Sehingga, kerakyatan yang dipimpin oleh permusyawaratan perwakilan para CEO akan membuka lahan serupa Roma yang dibakar oleh ribuan Nero."

Itulah sepenggal lirik "Tak Ada Garuda di Dadaku" yang dibawakan Bars of Death, yang tampaknya menemukan padanannya pada kondisi demokrasi Indonesia hari ini: dicengkeram oligarki dan dinasti politik. Pemerintah dan partai politik (parpol) menjadi dua aktor yang paling bertanggung jawab.

Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, menyatakan, pemerintah gagal menyejahterakan rakyat karena konflik penguasa-pengusaha. Sebab, mengedepankan profit atau pemburu rente daripada membangun ekonomi berdaya tahan industri.

Ia melanjutkan, hal tersebut tecermin dari banyaknya bisnis yang masuk ke pemerintahan. "Kemudian, mengubah diri menjadi pemburu rente. Pemburu rente itu bisa dilihat, [tetapi] tidak bisa dibedakan antara pengusaha dan penguasa," katanya dalam seminar "Menyelamatkan Demokrasi dari Cengkraman Oligarki dan Dinasti Politik" di Jakarta, Selasa (14/11).

Ketika pengusaha menjadi penguasa, ungkap Zainal, kebijakan yang dibuat hanya untuk keuntungan pribadi dan kelompoknya. Ini terjadi di setiap aspek, seperti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023.