Pendataan majelis taklim dinilai tak nyambung dan diskriminatif

"Kebijakan itu kalau dikaitkan dengan radikalisme memang berlebihan, tidak nyambung juga."

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nasir dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Sohibul Iman di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (4/12). Alinea.id/Rizki Febianto

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nasir menilai kebijakan pemerintah untuk mendata majelis taklim, tidak berhubungan dengan tujuan kebijakan itu, yaitu memberantas radikalisme. Haedar juga beranggapan kebijakan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 tahun 2019 tentang Majelis Taklim, sebagai aturan yang diskriminatif.

"Kebijakan itu kalau dikaitkan dengan radikalisme memang berlebihan, tidak nyambung juga. Pada saat yang sama kebijakan itu tidak boleh diskriminatif. Kalau ada problem radikalisasi yang punya potensi intoleran, kekerasan, dan membenarkan kekerasan, ekstrem, maka muaranya kan jangan satu institusi," kata Haedar di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (4/12)

Pernyataan tersebut disampaikan setelah Haedar setelah menerima kunjungan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Sohibul Iman. Pendataan majelis taklim ini, juga sempat dibahas oleh kedua belah pihak dalam pertemuan tersebut.

Haedar menyarankan pemerintah sebaiknya menyasar akar radikalisme, bukan justru mengawasi semua majelis taklim. Menurutnya, pendataan majelis taklim sangat tendesius menempatkan umat Islam sebagai sumber radikalisme. 

Karena itu, bagi dia, keberadaan aturan tersebut diyakini akan mengecilkan ruang-ruang demokrasi. Hal ini lantaran ada batasan dalam aktivitas sosial masyarakat.