Pengaturan perampasan aset dibutuhkan UU khusus

Lantaran aturannya terpisah perampasan aset, seperti hasil dari tindak pidana korupsi, menjadi sulit untuk diterapkan. 

KPK memasang pelang disebuah rumah yang berkaitan dengan suatu perkara korupsi. Dokumentasi KPK

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, pengaturan yang terpisah terkait perampasan aset membuat praktiknya jadi sulit. Dia menjelaskan, pada dasarnya ada dua model yang bisa dilakukan, melalui putusan pengadilan dan dilakukan langsung tanpa proses peradilan.

Dalam konteks ini, menurut Fickar LHKPN atau laporan harta kekayaan penyelenggara negara bisa menjadi dasar. Bahkan, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) juga memberikan landasan untuk perampasan. 

"Itu dengan mengenyampingkan tindak pidana utamanya (core crime)," jelasnya kepada Alinea.id, Senin (22/2).

Lantaran aturannya terpisah perampasan aset, seperti hasil dari tindak pidana korupsi, menjadi sulit untuk diterapkan. Sehingga, kata Fickar, dibutuhkan UU khusus untuk mengatur perampasan aset yang pada dasarnya hasil kejahatan, baik melalui proses eksekusi putusan pengadilan maupun didasarkan aturan yang berbasis LHKPN.

"Memberikan landasan khusus bagi perampasan aset yang tidak didasarkan pada proses hukum, karena melalui TPPU tetap harus dilanjutkan prosesnya ke pengadilan yang ujungnya tetap dasarnya putusan pengadilan. Sedangkan, pada RUU Perampasan Aset bisa menjadi dasar perampasan tanpa harus adanya putusan pengadilan," ujarnya.