Penjelasan Kejagung soal perubahan nilai kerugian negara Duta Palma

Febrie menegaskan, butuh ketelitian dalam membagi indikator antara kerugian negara dan perekonomian negara.

Pemilik Duta Palma Group Surya Darmadi (kiri), didakwa merugikan negara hingga puluhan triliun pada perkara dugaan korupsi dalam kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit. Foto istimewa

Kuasa hukum Surya Darmadi, Juniver Girsang, mengklaim, tidak ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan kliennya dalam perkara dugaan korupsi Duta Palma Group. Dalihnya, proses perizinan yang masih berjalan atas perusahaan-perusahaan kliennya sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).

Jaksa sebelumnya mendakwa Surya selaku pemilik Duta Palma Group, yang berbisnis perkebunan kelapa sawit, melanggar sejumlah ketentuan perizinan. Sehingga, negara mengalami kerugian puluhan triliun.

Juniver mengatakan, proses perizinan terhadap PT Banyu Bening Utama, PT Palma Satu, PT Seberida Subur, dan PT Panca Agro Lestari hingga saat ini tinggal menunggu penetapan pembayaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan penerbitan hak guna usaha (HGU). Sementara itu, sesuai Pasal 110A dan 110B UU Ciptaker, pengusaha masih diberi waktu selama 3 tahun untuk menyelesaikan perizinannya.

"Ini sesuai dengan UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020, diberi batas waktu kepada setiap pengusaha yang mengusahakan kawasan hutan atau pun usahanya sampai 2023 izinnya dibereskan. Dan kemudian, di dalam ketentuan UU Cipta Kerja tersebut juga dikatakan, bahwa proses ini tidak ada perbuatan pidana, hanya administratif," tuturnya usai persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin  19 September. 

Terkait hal itu, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Febrie Adriansyah memberikan penjelasan. Ia mengatakan, ada perbedaan kualifikasi dan perhitungan kerugian. Indikator kerugian negara dan kerugian perekonomian negara jelas tidak sama.