Perdebatan seputar sistem presidensial usai putusan MK

Alasan MK terkait presidential threshold bisa menguatkan sistem presidensial dipertanyakan karena dianggap menggunakan norma alternatif.

Majelis hakim konstitusi MK. (foto: antara)

Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak gugatan terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang diatur dalam UU Nomor 7 tahun 2017 menuai respon dari beberapa elit politik. Pakar hukum tata negara, Refly Harun menyesalkan putusan itu. Terlebih ia menilai presidential threshold bertentangan dengan konstitusi.

"Saya berharap setelah pemilu 2019 perubahan undang-undang pemilu bisa menghilangkan aturan presidential threshold. Jadi tidak melalui putusan MK lagi, tapi semata-mata diserahkan kepada pembentuk undang-undang," ujar Refly saat berbincang dengan Alinea, Sabtu (13/1).

Sementara peneliti Perludem, Fadli Ramaadhani, mengkritisi pertimbangan dan pemaknaan MK terhadap Pasal6A ayat (2) UUD 1945. Beleid pasal tersebut berbunyi: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Ia menyebut MK tidak memperhatikan dan mempertimbangkan frasa ‘pasangan calon diajukan oleh parpol peserta pemilu’, yang menjadi kunci di dalam pasal tersebut.

"Ini lompatan logika yang sangat tidak tepat. MK justru fokus ke frasa 'gabungan partai politik' yang merupakan norma alternatif yang tidak bisa dipaksakan kepada partai politik," terang Fadli.

Bahkan, Fadli mempertanyakan kenegarawan hakim MK, terutama terkait alasan penguatan sistem presidensil untuk menolak gugatan tersebut. Terlebih yang paling diuntungkan terhadap putusan MK ialah partai besar yang memiliki domain suara dan kursi untuk pencalonan presiden.