Privatisasi PT PLN dinilai turunkan kemampuan daya beli masyarakat

Privatisasi terhadap PT PLN dengan dalih program holdingisasi dan IPO semakin menunjukkan pemerintah tidak taat azas.

Ilustrasi instalasi listrik/flickr.com

Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas) menolak keras privatisasi terhadap PT PLN (Persero). Gekanas mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus mengembalikan kedudukan PT PLN (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak.

Gekanas menuntut DPR RI mengembalikan status PT PLN (Persero) sebagai pemegang kuasa tunggal usaha ketenagalistrikan (PKUK) dengan tugas menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum. Gekanas juga meminta DPR RI, MPR RI, dan DPD RI menjalankan pengawasan melekat secara sungguh-sugguh terhadap implementasi Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 di dalam UU No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

Koordinator Gekanas R. Abdullah menilai, privatisasi dengan meliberalisasi tenaga listrik negara berbasis Initial Public Offering (IPO) berpotensi menimbulkan pertentangan dengan amanat dan perintah konstitusi negara. Sebab, privatisasi perusahaan plat merah bakal mengubah kepemilikannya menjadi milik umum (swastanisasi). Padahal, negara wajib menguasai dan mengelola sepenuhnya listrik negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran bangsa.

Gekanas menganggap privatisasi terhadap PT PLN dengan dalih program holdingisasi dan IPO semakin menunjukkan pemerintah sebagai penyelenggara negara tidak taat azas dalam melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945.Terlebih, privatisasi P PLN membawa konsekuensi berorientasi mengejar keuntungan sebesar-besarnya untuk kepentingan kemakmuran pemilik saham.  

“Karena itu masyarakat sebagai pengguna listrik negara patut mengantisipasi bahwa privatisasi berpotensi besar menimbulkan peningkatan biaya produksi bagi dunia usaha, akibat kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) secara berkelanjutan demi mencapai keuntungan PT PLN (Persero) sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kemakmuran pemilik modal (saham) dan tentu sangat mempengaruhi harga jual hasil produksi sekaligus kemampuan daya saing dengan usaha industri sejenis lainnya yang bersumber dari import,” ucap Abdullah dalam keterangan tertulis, Jumat (1/10).