Soal pilkada, putusan MK belum memberikan efek jera bagi koruptor

Ketika seorang koruptor ditolak ikut pilkada bukan berarti melanggar hak asasi manusia (HAM).

Seseorang melintas di depan atribut Pilkada. Antara Foto

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait terpidana koruptor boleh ikut pemilihan kepala daerah (pilkada) meski harus menunggu selama lima tahun setelah bebas menuai kritik. Keputusan tersebut dianggap masih belum membuat jera para koruptor lantaran masih memiliki kesempatan maju pilkada.

Adalah pengamat politik dari Universitas Lambung Mangkurat, Budi Suryadi yang mengkritik keputusan itu. Budi menilai, efek jera terhadap hukuman seorang pelaku korupsi dipastikan hilang lantaran tidak terlalu berpengaruh dalam panggung politik seorang terpidana koruptor.

"Saya tidak setuju dan menentang keras putusan MK ini, karena suatu kemunduran bagi bangsa Indonesia dalam semangat antikorupsi," kata Budi di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Kamis (12/12).

Dosen Program Studi Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) ini mengutarakan, ketika seorang koruptor ditolak ikut pilkada bukan berarti melanggar hak asasi manusia (HAM).

Menurut dia, harus berbeda cara memahaminya, bahwa ketidakbolehan terpidana kasus korupsi ikut pilkada karena sebagai lanjutan sanksi atas perilaku korup mereka. Dengan demikian, efek jeranya tambah kuat, sehingga kepala daerah akan berpikir ulang ketika ingin melakukan korupsi.