Rangkap jabatan Rektor UI, pengamat: Ada invisible hand yang lebih berkuasa

Problem utama terkait dengan kasus Rektor UI adalah bagaimana aturan hanya bersifat prosedur tanpa makna.

Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor. Foto firmannoor.com

Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor mengkritisi perubahan aturan soal Statuta Universitas Indonesia (UI) yang tak lagi melarang rektor rangkap jabatan. Menurut Firman, perubahan itu menguatkan kesan bahwa ada kekuatan lain yang berkuasa dari regulasi di Tanah Air.

"Problem utama terkait dengan kasus Rektor UI adalah bagaimana aturan hanya bersifat prosedur tanpa makna. Semakin menguatkan keyakinan bahwa ada invisible hand yang jauh lebih berkuasa dari aturan yang ada di sekitar kita. Ini sekali lagi akan membuat rakyat hilang kepercayaan," kata Firman dalam keterangannya kepada Alinea.id, Rabu (21/7).

Selain mengeruskan kepercayaan publik, perubahan tersebut membuka lebar praktik kongkalikong demi kekuasaan ke depan.

"Dan makin menguatkan pandangan bahwa segalanya mungkin dan boleh manakala terkait dengan kepentingan kaum penguasa," sambungnya.

Kritik senada disampaikan politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera. Menurutnya, perubahan Statuta UI terlihat hanya demi kepentingan pribadi semata. "Ini sangat menyedihkan. Institusi harus tunduk pada kepentingan pribadi," ujar Mardani dalam keterangannya, Rabu.