Rusuh di tanah Papua puncak kemarahan warga

Diskriminasi terhadap masyarakat Papua terjadi jauh sebelum konflik rasialis di Surabaya, Jawa Timur, mengemuka.  

Kondisi gedung DPRD Papua Barat yang terbakar pascakerusuhan di Manokwari, Papua Barat, Senin (19/2). /Antara Foto

Diskriminasi terhadap rakyat Papua bukan barang baru. Menurut Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani, diskriminasi terhadap masyarakat Papua terjadi jauh sebelum konflik rasialis di Surabaya, Jawa Timur, mengemuka.  

"Ini saya melihatnya sebagai puncak kemarahan kalau dilihat dari aksi yang terjadi. Persoalan-persoalan di Papua sudah ada cukup lama, baik persoalan jaminan hak sipil, politik, perlindungan hak ekonomi, sosial, budaya yang masih jauh dari pemenuhan, bahkan hak untuk kebebasan berkumpul. Itu sudah sejak lama dibatasi pula," ujar Yati di kantor KontraS, Jakarta Pusat, Selasa (20/8).

Sebelumnya, sebanyak 43 mahasiswa Papua diamankan polisi dari asrama Papua di Jalan Kalasan, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (18/8) malam. Para mahasiswa itu diamankan setelah asramanya dikepung kelompok masyarakat dan oknum aparat TNI. Saat proses pengamanan, dikabarkan ada ucapan-ucapan rasialis yang terlontar dari warga kepada mahasiswa Papua.

Warga menggeruduk asrama itu berbasis tudingan salah satu penghuni asrama merusak bendera merah putih di depan asrama dan membuangnya ke selokan. Namun, usai ditangkap dan dilepaskan, tidak ada penghuni asrama yang ditetapkan sebagai tersangka perusakan bendera. 

Peristiwa itu berbuntut panjang. Ribuan warga di berbagai daerah di Papua menggelar aksi unjuk rasa meminta klarifikasi pihak berwenang terkait kasus penangkapan mahasiswa Papua tersebut. Di Manokwari, unjuk rasa berlangsung rusuh setelah warga membakar kantor DPRD.