sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Rusuh di tanah Papua puncak kemarahan warga

Diskriminasi terhadap masyarakat Papua terjadi jauh sebelum konflik rasialis di Surabaya, Jawa Timur, mengemuka.  

Fadli Mubarok
Fadli Mubarok Selasa, 20 Agst 2019 19:57 WIB
Rusuh di tanah Papua puncak kemarahan warga

Diskriminasi terhadap rakyat Papua bukan barang baru. Menurut Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani, diskriminasi terhadap masyarakat Papua terjadi jauh sebelum konflik rasialis di Surabaya, Jawa Timur, mengemuka.  

"Ini saya melihatnya sebagai puncak kemarahan kalau dilihat dari aksi yang terjadi. Persoalan-persoalan di Papua sudah ada cukup lama, baik persoalan jaminan hak sipil, politik, perlindungan hak ekonomi, sosial, budaya yang masih jauh dari pemenuhan, bahkan hak untuk kebebasan berkumpul. Itu sudah sejak lama dibatasi pula," ujar Yati di kantor KontraS, Jakarta Pusat, Selasa (20/8).

Sebelumnya, sebanyak 43 mahasiswa Papua diamankan polisi dari asrama Papua di Jalan Kalasan, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (18/8) malam. Para mahasiswa itu diamankan setelah asramanya dikepung kelompok masyarakat dan oknum aparat TNI. Saat proses pengamanan, dikabarkan ada ucapan-ucapan rasialis yang terlontar dari warga kepada mahasiswa Papua.

Warga menggeruduk asrama itu berbasis tudingan salah satu penghuni asrama merusak bendera merah putih di depan asrama dan membuangnya ke selokan. Namun, usai ditangkap dan dilepaskan, tidak ada penghuni asrama yang ditetapkan sebagai tersangka perusakan bendera. 

Peristiwa itu berbuntut panjang. Ribuan warga di berbagai daerah di Papua menggelar aksi unjuk rasa meminta klarifikasi pihak berwenang terkait kasus penangkapan mahasiswa Papua tersebut. Di Manokwari, unjuk rasa berlangsung rusuh setelah warga membakar kantor DPRD.

Selain di Surabaya, menurut catatan KontraS, kasus-kasus diskriminasi terhadap warga Papua terekam terjadi di Malang, Semarang, dan sejumlah kota lainnya. "Jika hal ini terus berlangsung, kami khawatir akan melahirkan persoalan besar di kemudian hari," kata Yati. 

Lebih jauh, Yati meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera mengambil tindakan-tindakan konkret untuk meredam kemungkinan meluasnya konflik. Ia pun mengingatkan agar pemerintah tidak memperburuk keadaan dengan menggelar tindakan-tindakan yang sifatnya represif. 

"Pendekatan kekerasan dan represif terhadap aspirasi masyarakat dan mahasiswa Papua, termasuk pendekatan keamanan yang tertutup hanya akan membuat penyelesaian permasalahan Papua semakin buruk dan memicu eskalasi kekerasan dan pelanggaran HAM," tegas Yati.

Sponsored

Lebih jauh, Yati juga mendesak Komnas HAM untuk proaktif menyelidiki kasus-kasus diskriminasi yang terjadi di Surabaya, Malang dan Semarang. "Narasi permintaan maaf yang dilakukan Jokowi tidaklah cukup," kata Yati.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi mengatakan, perlakuan negara kepada masyarakat Papua saat ini bak perlakuan penjajah kepada bangsa Indonesia dulu. Tak hanya itu, warga Papua juga kerap dipersepsikan sebagai orang-orang yang terbelakang, kasar, dan bahkan jorok.

"Stigma negatif dan rasis ini masih amat melekat. Artinya ini pun harus menjadi pekerjaan rumah utama kita sebagai orang Indonesia di mana kita harus memerlakukan saudara kita siapa pun itu secara adil dan setara," kata Rukka.

Tak hanya ketika berada di luar kampung halamannya, rakyat Papua juga mulai terus tersudutkan ketika berada di tanah kelahirannya. Menurut Rukka, hal itu setidaknya terlihat dari jumlah pendatang yang angkanya sudah jauh melebihi jumlah masyarakat asli Papua. "Jumlah pendatang itu sudah 60%," kata dia. 

Sebagai salah satu solusi, Rukka menyarankan, pemerintah kembali menghidupkan dialog-dialog yang menyoroti perbedaan dan keberagaman. "Kita justru harus lebih sering bicara mengenai perbedaan supaya kita terbiasa," kata dia. 

Berita Lainnya
×
tekid