Pakar: RUU Cipta Kerja didesain untuk sentralisasi kekuasaan

Draf RUU Cipta Kerja Pasal 170 dinilai contoh konkret upaya sentralisasi kekuasaan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (kelima kiri) didampingi Menteri BPN Sofyan Djalil (kiri), Menkum HAM Yasonna Laoly (kedua kiri), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya (ketiga kiri), Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) menyerahkan surat presiden (surpres) RUU Cipta Kerja kepada pimpinan DPR Puan Maharani (ketiga kanan), di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (12/2/2020)/Foto Antara/Puspa Perwitasari.

Pakar hukum tata negara, Bvitri Susanti, menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja pada dasarnya didesain untuk memusatkan kekuasaan pemerintahan ke tangan presiden.

Salah satu contoh dari upaya sentralisasi kekuasaan tersebut tercermin dalam draf RUU Cipta Kerja Pasal 170 (1), yang menyebut presiden sebagai kepala negara memiliki kewenangan mencabut UU melalui Peraturan Pemerintah (PP).

Tidak hanya itu, seorang presiden juga memiliki kewenangan mencabut Peraturan daerah (Perda) melalui Peraturan Presiden (Perpres).

"Pasal 170 itu merupakan contoh konkret upaya sentralisasi. Padahal dalam konstitusi Indonesia sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tata aturannya tidak bisa PP mencabut UU seperti yang dinyatakan dalam pasal itu," jelas Bivitri dalam diskusi 'Mengapa Galau pada Omnibus Law?' di The Maj, Jakarta, Sabtu (22/2).

Menurut UU No. 12 Tahun 2011, urutan tata aturan perundangan adalah UUD 1945, Ketetapan MPR (TAP-MPR), UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), Peraturan Menteri (Permen), lalu Peraturan Presiden (Perpres).