RUU Cipta Kerja mengancam kedaulatan perempuan

Perempuan berhadapan dengan relasi kuasa yang timpang dalam RUU Cipta Kerja.

Serikat pekerja melakukan aksi menolak RUU Cipta Kerja di depan Gedung DPRD DKI Jakarta, Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Alinea.id/Ardiansyah Fadli

Pelaksanaan analisis dampak lingkungan (amdal) berspektif gender akan sulit diwujudkan dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipker). Draf itu justru bakal merampas tanah, sumber-sumber kehidupan perempuan, serta menghilangkan pengetahuan dan sistem pengelolaan lingkungan yang selama ini dilestarikan.

"Sehingga, kedaulatan perempuan juga menjadi hilang," ucap Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan (SP), Dinda Nuurannisaa Yura, dalam keterangan tertulis kepada Alinea.id, Rabu (22/7).

Dirinya menyatakan demikian lantaran amdal dan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) bukan semata instrumen administrasi. Namun, mekanisme yang memungkinkan masyarakat memberikan pendapat serta berbagi pengalaman dan pengetahuan terkait wilayah kelolanya. "Termasuk menolak suatu proyek yang tidak memiliki amdal."

Dinda mengakui, pelaksanaan amdal masih lemah, khususnya partisipasi perempuan. Sehingga, yang mestinya dilakukan adalah penguatan dengan memastikan situasi spesifik perempuan serta akses, kontrol, partisipasi, dan manfaat bagi perempuan sesuai komitmen Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) pada 2018.

Dia melanjutkan, RUU Cipker pun menganggap perempuan tidak penting. Pangkalnya, bakal menghilangkan hak cuti haid dan keguguran.