Selama pandemi kekerasan terhadap anak cenderung meningkat

Kekerasan terhadap anak terjadi dikarenakan adanya tekanan ekonomi yang membawa dampak psikologi, baik kepada anak maupun orang tua.

Ilustrasi kekerasan di sekolah. Alinea.id/Dwi Setiawan.

Survei yang dilakukan oleh organisasi hak anak internasional Save The Children yang dilakukan di 46 negara menemukan banyak kekerasan yang terjadi pada anak, terutama selama pandemik coronavirus. Survei itu melibatkan 31.683 orang tua dan 13.477 anak dan responden. Survei dilakukan secara daring, wawancara telepon dan tatap muka,

Kekerasan terhadap anak terjadi dikarenakan adanya tekanan ekonomi yang membawa dampak psikologi, baik kepada anak maupun orang tua. Kemudian, setelah diberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), ada 80% rumah tangga kehilangan paling tidak setengah pendapatannya. Di mana angka kekerasan terhadap anak merambat naik dari 30% dan setelah satu bulan naik lagi menjadi 35%. Kemudian setelah lima bulan kemdian melonjak menjadi 62%. 

Tidak hanya itu, fakta bahwa mayoritas sekolah ditutup memengaruhi kondisi psikolosisial anak dan orang tua. Kemudian untuk anak disabilitas juga mengalami tiga kali lipat sering mengompol dan menjerit di luar kenormalan dan lebih parahnya lagi didapati anak-anak yang menikah diusia dini. 

CEO Save the Children di Indonesia Selina Sumbung menjelaskan, salah satu responden mereka, yakni seorang anak berusia 12 tahun mengatakan kawatir segera dinikahkankan akibat penutupan sekolah.

Keluarga yang kurang mampu melihat pernikahan anak sebagai salah satu pemecah masalah ekonomi agar beban keluarga berkurang. Namun, Save the Children melihat penutupan sekolah masih berupa kebijakan pemerintah yang perlu didukung untuk memperlambat laju penyebaran Covid-19.