Sesat pikir adagium hukuman mati dari China

Indeks persepsi korupsi China, yang menerapkan hukuman mati pada koruptor, masih rendah ketimbang negara yang tak menerapkan hukuman ini.

Pengunjung membubuhkan cap tanda tangan untuk kampanye anti korupsi di lokasi kegiatan Hari Bebas Kendaraan Bermotor atau Car Free Day Solo, Minggu (08/12/19)./ Foto Antara

Peneliti Indonesia Corruption Watch atau ICW, Tama S. Langkun, menyatakan hukuman mati tidak mempengaruhi indeks persepsi korupsi atau IPK sebuah negara. IPK China, yang menerapkan hukuman mati pada koruptor, juga masih berada di posisi bawah, yaitu urutan 86.

Posisi ini tak jauh berbeda dari Indonesia yang menempati urutan 89. Sementara negara yang tak menerapkan hukuman mati bagi pelaku korupsi, seperti Denmark atau Swedia, memiliki IPK yang lebih tinggi dari China.

"Istilah yang sering kita dengar, Presiden China Xi Jinping bilang sediakan 10 peti mati. Adagium itu sangat terkenal di negara kita. Jadi, seolah-olah meletakkan hukuman mati sebagai hukuman paling efektif, paling kejam, padahal enggak juga," kata Tama dalam sebuah diskusi di Jakarta Pusat, Minggu (15/12).

Komentar Tama terkait dengan pernyataan Jokowi yang mewacanakan hukuman mati pada koruptor. Saat peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, Jokowi menyatakan hukuman mati dapat diterapkan jika rakyat menghendaki. Ia pun mengaku siap mendorong revisi UU Tindak Pidana Korupsi agar hukuman mati bagi koruptor bisa masuk dalam ancaman hukuman.

Menurut Tama, Jokowi salah ucap lantaran aturan hukuman mati bagi koruptor sudah tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.