Tahun 2020, krisis multidimensi bagi perempuan

Pandemi Covid-19, bukan sekadar memicu krisis kesehatan, tetapi juga berimbas pada krisis ekonomi, hingga sosial-politik. 

DKI Jakarta berada di peringkat ke-2 secara nasional mengenai tingginya kasus kekerasan perempuan di ruang publik. Alinea.id/dokumentasi

Pandemi Covid-19 telah membuktikan sistem perekonomian global yang patriarkis selama ini hanya diperuntukkan untuk kepentingan segelintir orang. Hal tersebut, disampaikan Koordinator Program Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan (SP), Arieska Kurniawaty.
 
Menurut dia, pemiskinan, ketidakadilan, dan ketimpangan memperburuk krisis yang telah lama terjadi. Pandemi Covid-19, bukan sekadar memicu krisis kesehatan, tetapi juga berimbas pada krisis ekonomi, hingga sosial-politik. 

"Bagi perempuan, tahun 2020 ini adalah tahun krisis multidimensi dan semakin menambah lapisan penindasan yang dialami, termasuk bagaimana krisis ini memperkuat kekerasan dan ketidakadilan gender yang sudah ada sejak sebelum krisis," tutur Arieska dalam keterangan pers virtual Peluncuran Catatan Akhir Tahun Advokasi Kasus Solidaritas Perempuan Tahun 2020, Minggu (13/12).

Dia mengungkapkan, beberapa kasus pengaduan yang diterima SP. Pertama, menjelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia pada Agustus lalu, para perempuan dari masyarakat adat Pubabu, Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT) menangis ketakutan karena mendengar tembakan dari Brimob. 
Kemudian, melihat anak-anak dimasukkan dalam mobil secara paksa, serta diinjak leher dan kepalanya dengan sepatu lars.

Kedua, para perempuan pesisir tergusur proyek strategis nasional Makassar New Port yang dikecualikan dalam daftar penerima paket bantuan sosial pemerintah setempat, karena dianggap selalu melawan. 

Padahal, sebelum pandemi Covid-19 melanda Indonesia, para nelayan perempuan tersebut telah terhimpit secara ekonomi akibat semakin susahnya melaut. Ketiga, para perempuan di wilayah perbatasan Indonesia.