UU Cipta Kerja dinilai langgengkan praktik diskriminasi

Setidaknya ada tujuh UU dalam regulasi ‘sapu jagat’ ini yang mengancam kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

Ilustrasi diskriminasi. Pixabay

Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Ciptaker) dinilai bakal melanggengkan praktik diskriminasi. Bahkan, mengancam kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Setidaknya ada tujuh UU dalam regulasi ‘sapu jagat’ ini yang mengancam kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

Pertama, UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Kedua, UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Ketiga, UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Keempat, UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Kelima, UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Keenam, UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Ketujuh, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.

“Modus operasional hukum Cipta Kerja terhadap ketentuan tersebut adalah mengekalkan konstruksi yang sudah ada, dengan mempertahankan pasal dan/atau menambah pengaturan lebih lanjut dalam peraturan pemerintah sehingga semakin menimbulkan ketidakpastian hukum,” ujar perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Muhammad Isnur dalam keterangan tertulis, Rabu (21/10).

Ketua bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini mengatakan, UU Ciptaker kemungkinan mempertahankan berbagai pasal bermasalah dari UU lama. Misalnya, frasa keliru ‘agama yang diakui’. Padahal, Presiden Joko Widodo dalam janji kampanyenya mendambakan kehadiran kebhinekaan.

“Menjadi pertanyaan mengapa ini terus hadir dan dikuatkan ketika ada kesempatan untuk mengubah menjadi lebih baik,” ucapnya.