Yang terjadi di balik berulangnya ricuh-rusuh HMI 

Kericuhan dan kerusuhan seolah jadi tradisi di kongres-kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

Ilustrasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Alinea.id/Fachrullah

Sejak kali pertama menginjakkan kaki sebagai mahasiswa baru di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar pada 2013, Buslin Ziyadatul Khoir sebenarnya sudah mengenal Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Namun, ia sama sekali tidak tertarik untuk bergabung dengan organisasi bentukan Lafran Pane pada 1947 itu. 

Ketika itu, Buslin lebih kepincut masuk ke Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Sempat ikut proses kaderisasi PMII, Buslin memutuskan mundur di tengah jalan. Ia "patah hati" lantaran dalam salah satu forum kaderisasi ia dirisak karena memiliki pandangan yang berbeda soal keislaman. 

"Saat itu saya ajukan pertanyaan terkait aliran dalam Islam, yaitu yang mana golongan dalam Islam yang selamat dan yang benar? Mereka menjawab, yaitu ahlu sunnah wal jamaah. Saya katakan itu hanyalah klaim kebenaran. Setelah itu, saya diteriaki, dianggap mata-mata, dan hampir dikeroyok," ujar Buslin kepada Alinea.id, Kamis (1/4).

Buslin kapok. Ia kemudian mencoba peruntungan di HMI. Dalam forum kaderisasi serupa di HMI, Buslin menanyakan pertanyaan yang sama yang ia ajukan di forum PMII. Kali itu, Buslin puas dengan jawaban dari senior-senior HMI. 

"Salah satu pemateri menjawab dalam bentuk pertanyaan balik, 'Apakah semua golongan itu Islam semua atau tidak?' Saya jawab, 'Iya, Islam semua.' Ia melanjutkan, 'Apakah mereka berpedoman Alquran, hadis dan ijma (kesepakatan).' Saya katakan, 'Iya.' 'Semenjak mereka berpegang pada itu semua, maka Islam yang benar.' Berangkat dari itu, saya masuk HMI," ujar Buslin.