Aksi-aksi protes mahasiswa yang menggema di depan gedung DPR mungkin akan sedikit berkurang tahun ini. Pemerintah, lewat Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek), mengumumkan program dana riset untuk Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan organisasi serupa di tingkat universitas.
Alasannya terdengar manis: mendorong mahasiswa menyalurkan energinya ke penelitian dan pengembangan gagasan. Namun, di balik itu, sebagian pihak mencium aroma skenario lama, yakni membelokkan fokus mahasiswa dari jalanan ke ruang seminar atau laboratorium.
Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah IV Jawa Barat–Banten, Lukman, tak menampik program itu memang untuk mengurangi intensitas aksi. “Dana riset ini disiapkan agar BEM tidak terlalu sibuk berdemonstrasi,” ujarnya. Ia bahkan menantang BEM menghasilkan karya konkret dari program ini.
Bagi Andhika Natawijaya, pengurus BEM Universitas Negeri Jakarta (UNJ), pernyataan Lukman itu sudah cukup menjelaskan tujuan utama pemerintah menggelontorkan dana untuk BEM.
“Pasalnya, dana ini seperti sengaja diturunkan untuk membuat BEM fokus terhadap pengelolaan dana tersebut dan mengecilkan gerakan mahasiswa. Maka, hari ini gerakan mahasiswa memang seperti dibungkam secara frontal,” ujarnya kepada Alinea.id, Kamis (14/8).
Andhika mengakui manfaat program pemerintah itu untuk pengembangan organisasi. Tetapi, ia tak mau menutup mata terhadap risiko politisnya. “Dana ini baik untuk perkembangan program BEM, namun di sisi lain membungkam gerakan mahasiswa,” katanya.
Polemik antara pemerintah dan gerakan mahasiswa bukan cerita baru. Dari era Orde Baru hingga Reformasi, sejarah mencatat berbagai cara negara mencoba mengendalikan suara kritis dari kampus—mulai dari normalisasi kehidupan kampus (NKK) di era 1980-an yang membekukan Dewan Mahasiswa, hingga pengetatan izin aksi di era demokrasi sekarang.
Pada era Orde Baru, NKK–BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan) bahkan disebut-sebut berhasil meredam mobilisasi massa di kampus, tapi juga mematikan tradisi politik kritis mahasiswa. Kini, sejumlah aktivis melihat program dana riset BEM sebagai “versi modern” dari strategi yang sama: membatasi ruang aksi lewat tawaran fasilitas dan pembiayaan.
Namun demikian, tidak semua mahasiswa melihat dana untuk BEM itu sebagai bentuk pembungkaman. Ketua Dewan Mahasiswa UIN Sultan Syarif Kasim II (Suska) Riau, Muhammad Asdilfi, justru menyambutnya sebagai peluang memperkuat basis gerakan.
“Ketika dana riset ini hadir, justru akan memudahkan bagi kami untuk menyerap aspirasi masyarakat secara langsung yang nantinya akan bisa kami suarakan lantang di mimbar aksi gerakan mahasiswa,” ujar Asdilfi kepada Alinea.id.
Baginya, gerakan mahasiswa tidak akan padam hanya karena ada aliran dana. Ia optimistis gerakan mahasiswa akan terus hadir di tengah rakyat.
"Apapun upaya pembungkaman yang dilakukan, pemerintah seharusnya sadar sudah banyak upaya pembungkaman selama ini terjadi, tapi api semangat perjuangan itu selalu hidup dan terbakar di dalam diri mahasiswa,” ujar dia.
Meski berbeda pendapat, baik Andhika maupun Asdilfi sepakat bahwa ujian sesungguhnya dari gerakan mahasiswa tetap sama: bagaimana menyikapi kebijakan yang tak berpihak pada rakyat.
Pengalaman menunjukkan, ketika isu yang diangkat benar-benar menyentuh kepentingan publik—seperti kenaikan harga BBM, UU Cipta Kerja, atau isu lingkungan—mahasiswa akan turun ke jalan, terlepas dari berapa banyak dana riset yang mengalir ke rekening BEM.
Mungkin saja, di tengah riset yang menghasilkan tumpukan rekomendasi kebijakan, suara toa dalam aksi protes mahasiswa tetap akan memecah udara di depan gedung DPR. Hanya saja, kali itu mereka akan datang dengan data yang lebih tajam.