YLBHI temukan 3 kejanggalan perampasan tanah adat Besipae

Padahal, pemprov mengakui kepemilikan tanah masyarakat adat Besipae.

Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Era Purnamasari (tengah) dalam konferensi pers di gedung YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (14/8/2019). Alinea.id/dokumentasi

Perampasan tanah masyarakat adat Besipae yang dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT, menambah jumlah kasus perampasan tanah di berbagai wilayah di Indonesia di tengah pandemi Covid-19.

Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Era Purnamasari, mengatakan, terdapat tiga kejanggalan dalam perampasan tanah adat masyarakat Besipae. Pertama, munculnya sertifikat hak pakai di atas tanah adat masyarakat Besipae. Kedua, perusakan rumah-rumah dan tanah masyarakat adat. Ketiga, kriminalisasi terhadap masyarakat adat Besipae.

Ironisnya, sertifikat hak pakai terbit di lokasi yang berbeda. Di mana sertifikat hak pakai tersebut terbit di atas bidang tanah yang terletak di Kecamatan Amnuban Tengah. 

"Sementara tanah dan rumah masyarakat adat Besipae yang digusur oleh Pemprov NTT terletak di Kecamatan Amnuban Selatan,” ujar Era dalam keterangan tertulis, Jumat (21/8).

Di sisi lain, sertifikat hak pakai tidak mencantumkan asal ‘hak’ tersebut. Padahal berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, sertifikat hanya dapat diterbitkan di atas tanah negara, tanah hak pengelolaan atau tanah hak milik. Namun, sertifikat tersebut tidak memuat informasi asal tanah, apakah berasal dari tanah negara, tanah hak pengelolaan atau tanah milik, atau tanah adat.