close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)  Era Purnamasari (tengah) dalam konferensi pers di gedung YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (14/8/2019). Alinea.id/dokumentasi
icon caption
Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Era Purnamasari (tengah) dalam konferensi pers di gedung YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (14/8/2019). Alinea.id/dokumentasi
Nasional
Jumat, 21 Agustus 2020 13:40

YLBHI temukan 3 kejanggalan perampasan tanah adat Besipae

Padahal, pemprov mengakui kepemilikan tanah masyarakat adat Besipae.
swipe

Perampasan tanah masyarakat adat Besipae yang dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT, menambah jumlah kasus perampasan tanah di berbagai wilayah di Indonesia di tengah pandemi Covid-19.

Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Era Purnamasari, mengatakan, terdapat tiga kejanggalan dalam perampasan tanah adat masyarakat Besipae. Pertama, munculnya sertifikat hak pakai di atas tanah adat masyarakat Besipae. Kedua, perusakan rumah-rumah dan tanah masyarakat adat. Ketiga, kriminalisasi terhadap masyarakat adat Besipae.

Ironisnya, sertifikat hak pakai terbit di lokasi yang berbeda. Di mana sertifikat hak pakai tersebut terbit di atas bidang tanah yang terletak di Kecamatan Amnuban Tengah. 

"Sementara tanah dan rumah masyarakat adat Besipae yang digusur oleh Pemprov NTT terletak di Kecamatan Amnuban Selatan,” ujar Era dalam keterangan tertulis, Jumat (21/8).

Di sisi lain, sertifikat hak pakai tidak mencantumkan asal ‘hak’ tersebut. Padahal berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, sertifikat hanya dapat diterbitkan di atas tanah negara, tanah hak pengelolaan atau tanah hak milik. Namun, sertifikat tersebut tidak memuat informasi asal tanah, apakah berasal dari tanah negara, tanah hak pengelolaan atau tanah milik, atau tanah adat.

Jika dari tanah negara, perlu diperiksa sejarah penguasaannya dan apakah masyarakat adat Besipae setuju dengan pemberian hak pakai tersebut. Jika pun setuju, tentunya dibuat secara terang dengan kehendak bebas tanpa paksaan ataupun tipu muslihat.

Kejanggalan tersebut telah menjadi alasan untuk menduga adanya cacat prosedur dalam penerbitan sertifikat hak pakai. Padahal, pemprov mengakui kepemilikan tanah masyarakat adat Besipae yang terlihat dari pelaksanaan proyek percontohan intensifikasi Peternakan Besi Pae pada 1982.

Selain itu, Era mengingatkan, sertifikat bukanlah satu-satunya alat bukti kepemilikan atau penguasaan atas tanah.

“Bukti-bukti kepemilikan masyarakat adat tidak berarti bisa dikalahkan serta merta oleh sertifikat. Sertifikat tersebut masih harus diuji kebenarannya baik secara prosedural maupun substansial,” ucapnya.

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan