Menyedihkannya sepakbola Myanmar, nasibnya di bawah sepatu lars rezim militer

Tim nasional Myanmar memenangkan emas di Asian Games pada tahun 1966 dan 1970, lolos ke Olimpiade Musim Panas pada tahun 1972.

Pesepakbola Hein Htet Aung merayakan golnya saat pertandingan sepak bola kualifikasi Asia putra Olimpiade Tokyo 2020 antara Myanmar dan Timor Leste di Yangon pada 22 Maret 2019. Foto AFPmyanmarfrontier

Di bawah pemerintahan militer selama puluhan tahun, sepak bola Myanmar menurun dari masa kejayaannya pada 1960-an, dan kemajuan kecil yang dibuat selama tahun-tahun transisi secara spektakuler terbalik oleh pandemi dan kudeta.

Seperti banyak pesepakbola profesional lainnya, Ko Kaung Htet Soe yang berusia 25 tahun dari Yangon United harus bekerja sampingan selama pandemi COVID-19, dalam kasusnya menjual bensin di bisnis keluarganya. Timnya, yang dimiliki oleh kroni militer U Tay Za, hanya membayar sebagian dari gajinya yang sudah sangat kecil sekitar K1 juta per bulan, kurang dari US$800 dengan kurs saat itu (setara Rp12 juta).

Sementara liga Myanmar menderita selama pandemi, lalu semakin hancur gara-gara krisis ekonomi yang disebabkan oleh kudeta tahun 2021, ketika militer merebut kekuasaan dari pemerintahan Liga Nasional untuk Demokrasi terpilih.

Kaung Htet Soe mengakui bahwa jumlah penonton telah menurun secara signifikan sejak kudeta, tetapi membantah bahwa timnya dimiliki oleh seorang pengusaha yang dikenal luas sebagai rekan dekat junta militer yang dicerca.

“Para penggemar mungkin tidak punya waktu untuk menonton pertandingan sepak bola atau merasa menghabiskan waktu untuk pergi ke stadion. Masih ada yang menonton pertandingan secara online melalui live streaming,” ujarnya.