Keputusan MK soal sengketa Pilkada 2020 dinilai berantakan

MK disebut hanya memedomani Pasal 158 UU Pilkada dalam memutus sengketa tanpa memperhatikan bukti-bukti yang disampaikan.

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta. Google Maps/Tristan Ku

Pakar hukum tata negara, Margarito Kamis, menilai, produk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sidang sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 berantakan. MK pun dianggap tak lagi menjadi "benteng terakhir" bagi para pencari keadilan dalam "pesta demokrasi."

"Berantakan. MK jadi benteng ketidakadilan," katanya saat dihubungi di Jakarta, Selasa (16/2).

Dia menyatakan demikian lantaran sikap MK dalam memeriksa dan mengadili syarat formal pengajuan sengketa pada sejumlah persidangan dipengaruhi Pasal 158 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Pasal tersebut membatasi gugatan sengketa hasil pemilihan selisih suara penggugat dengan pemenangan maksimal 2%.

Apabila tetap menerapkan pasal a quo dalam setiap proses persidangannya, menurutnya, sama saja MK sedang membiarkan kecurangan terjadi selama tak melebihi batas yang ditentukan.

"Itu dia karena mereka (MK) hanya pakai Pasal 158 doang, akhirnya begitu, seperti kemarin itu  (permohonan sengketa Pilkada) berguguran semua. Hari ini pun akan keguguran lagi. Akhirnya, kecurangan-kecurangan tidak terdeteksi," paparnya.