Pemahaman publik soal KTP-el WNA dinilai perlu diluruskan

“Isu ini adalah isu populis yang mudah digoreng, pemilih mudah terprovokasi secara emosional."

Seorang pelajar melakukan perekaman KTP Elektronik di SMA Negeri 2 Pekalongan, Jawa Tengah, Selasa (26/2)./ Antara Foto

Beredarnya KTP-el untuk Warga Negara Asing (WNA) menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat, seperti yang terjadi pada KTP-el WNA asal China bernama Guohui Chen di Cianjur beberapa waktu lalu. Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni mengatakan, isu tersebut rentan dipolitisasi. 

“Isu ini adalah isu populis yang mudah digoreng, pemilih mudah terprovokasi secara emosional. Narasi publik harus segera direbut dan diluruskan,” kata Titi di tengah acara diskusi Polemik Trijaya bertajuk "E-KTP, WNA, dan Kita" di D'consulate Lounge Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Sabtu (2/3). 

Menurutnya, saat ini pemahaman publik mengenai KTP-el masih sangat sederhana. Masyarakat hanya mengerti jika KTP-el adalah bentuk identitas sebagai Warga Negara Indonesia. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 pasal 63 ayat (1), diatur kepemilikan KTP-el bagi WNA. 

Bagi Titi, hal ini menunjukkan adanya kesenjangan informasi antara pemahaman publik dan peraturan yang ada. Pemilu 2019 yang sangat kompetitif, baik untuk Pileg maupun Pilpres, juga menjadi faktor penyebab rentannya isu KTP-el WNA dipolitisasi.

"Pertaruhannya soal suara. Dalam pemilu legislatif, parpol berhadapan dengan Parliamentary Threshold 4%, sehingga setiap suara sangat berharga untuk menentukan nasib peserta pemilu," ujarnya.