Sudahkah lembaga survei menjadi think tank?

Jangan sampai menjelang pesta demokrasi, lembaga survei kemudian menggunakan pola penghalalan segala macam cara.

Mural Prabowo dan Joko Widodo sebagai pasangan calon presiden yang akan bertarung pada pemilu 2019./Antara Foto

Sulit memisahkan antara politik dan lembaga survei khususnya dalam situasi saat ini yakni menjelang pemilihan legistatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres). Lembaga Survei ramai-ramai merilis hasil terakhir elektabilitas kedua calon presiden dan wakil presiden (capres dan cawapres). 

Pekan lalu, Lembaga Survei Median merilis hasil teranyar elektabilitas Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Median menyebut kalau elektabilitas pasangan Jokowi dan Ma'ruf Amin rupanya hanya unggul tipis dari pesaingnya, sebesar 12%. Artinya, pasangan Prabowo Sandiaga Uno berhasil mengejar ketertinggalan soal elektabilitas, meskipun sekali lagi hal ini klaim dari Median. 

Rilis Median berbanding terbalik dengan lembaga survei lain yakni Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA yang menyebut elektabilitas pasangan Jokowi Ma'ruf dan Prabowo Sandiaga masih terpaut 22% pada akhir November lalu. 

Lalu bagaimana memaknai hasil dari lembaga survei tersebut? Anda boleh mempercayai hasil survei atau meragukannya. Toh, sejumlah petugas partai juga menyatakan sikap demikian. 

Kepada Alinea.id Ahmad Muzani, Sekjen Partai Gerindra terang-terangan mengkritik sejumlah lembaga survei yang ada. Dirinya mempertanyakan soal akuntabilitas lembaga survei, seperti: melakukan survei dimana, siapa yang disurvei, bagaimana metodologinya dan siapa yang mendanainya.