sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Tumbangnya lembaga survei dan hasrat kemenangan di Pilkada 2018

Lembaga survei diharapkan tidak memanipulasi data yang diperoleh saat melakukan survei.

Gema Trisna Yudha
Gema Trisna Yudha Rabu, 04 Jul 2018 18:12 WIB
Tumbangnya lembaga survei dan hasrat kemenangan di Pilkada 2018

Melesetnya hasil survei sejumlah lembaga survei di Pilkada Serentak 2018, menimbulkan tanda tanya seputar kredibilitas lembaga survei. Kegagalan memprediksi hasil Pilkada tidak dapat dianggap angin lalu, karena ada indikasi lembaga survei ikut menggiring opini dan mengarahkan pilihan masyarakat pemilih.

Gagalnya prediksi tingkat keterpilihan pasangan calon oleh lembaga survei yang menjadi sorotan, di antaranya terjadi di Jawa Barat (Jabar) dan Jawa Tengah (Jateng). Di Jabar, perolehan suara pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu yang diprediksi tak mendapat 10%, justru mengalahkan pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi yang diprediksi bersaing menjadi pemenang.

Di Jateng, suara Sudirman Said-Ida Fauziyah yang diprediksi tak akan mampu mendapat 20% suara, justru mampu menembus angka 40%.

Direktur Eksekutif Indonesian Democratic Center for Strategic Studies (INDENIS), Girindra Sandino, menduga kegagalan ini disebabkan lembaga survei yang tidak independen dalam menjalankan penelitiannya. Menurutnya, sebuah lembaga survei juga dapat menjadi tim pemenangan salah satu peserta pemilu dengan menggiring opini untuk mempengaruhi pilihan masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan penggunaan pertanyaan-pertanyaan yang terarah untuk menjadi alasan ilmiah pasangan calon tertentu meraih kemenangan.

Dia bahkan menyebut melesetnya hasil survei sebagai hal wajar, sebagai bentuk 'pertanggungjawaban' terhadap pihak pemesan yang ingin memenangkan kandidat jagoannya. "Wajar jika banyak saat ini lembaga survei meleset. Karena mana mungkin sudah dibayar mahal, mengeluarkan hasil survei yang jujur," kata Girindra, Rabu (4/7).

Padahal pasal 131 ayat (3) huruf a, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, menyatakan bahwa partisipasi masyarakat, termasuk survei, dilarang melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.

Lembaga survei seperti ini, kata Girindra, sama saja melakukan kebohongan publik dan kejahatan pemilu, sekaligus menjadi preseden buruk bagi kontestasi demokrasi lokal di Indonesia. Bagi dia, metodologi yang digunakan dengan mengarahkan pasangan calon yang membayar, justru merupakan bentuk pengingkaran terhadap pendidikan politik demokrasi, saat lembaga survei menyatakan diri sebagai lembaga independen. 

"Harus ada mekanisme hukum untuk mengatur survei dan sanksi. Hal ini bukan merupakan bentuk pengekangan terhadap hak berekspresi akan tetapi lebih melindungi  kepentingan masyarakat secara politis. Karena bisa saja menimbulkan konflik jika survei terlalu membela pemodal dengan menegasikan kebenaran ilmiah di detik-detik kondisi yang sangat kritis," tuturnya.

Sponsored

Direktur Center for Election and Political Party (CEPP) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), Reni Suwarso, menganggap wajar terjadinya survei bayaran. Menurutnya, hal ini juga dilakukan di negara-negara lain, untuk menaikkan dukungan dan suara.

Hanya saja, ia menggarisbawahi agar lembaga survei objektif dalam melaporkan temuan di lapangan. "Apapun temuan di lapangan, data dan info, jangan dimanipulasi untuk kepentingan yang punya uang," ucapnya.

Dikutip Antara, Dosen Luar Biasa Jurusan Ilmu Komunikasi UDINUS dan USM, Semarang, Gunawan Witjaksana, mengatakan bahwa larisnya survei dalam kontestasi politik, terjadi untuk memanfaatkan sugesti dan kecenderungan manusia untuk meniru. Saat disodorkan sebuah hasil survei, masyarakat diharapkan dapat mengikuti pilihan yang sama dengan mayoritas responden yang dirilis lembaga survei. Karenanya tak heran, kandidat atau parpol menggunakan lembaga survei abal-abal untuk merilis hasil survei yang memenangkannya.

Di sisi lain, Gunawan menganggap wajar ketidaksesuaian hasil survei dengan hasil pemungutan suara, karena sebuah survei dilakukan berdasar persepsi masyarakat sebelum pemungutan suara dilakukan. Secara psikologis dan sosiologis, jajak pendapat yang didasari persepsi masih rentan untuk berubah, sehingga mengakibatkan hasil survei berbeda dengan hasil akhir setelah pencoblosan.

Karenanya ia tetap menganggap penggunaan hasil survei terhadap elektabilitas peserta pemilu, bukanlah sebuah kesalahan. "Dari sisi komunikasi persuasif, membujuk masyarakat dengan memanfaatkan keinginan serta kebutuhannya tanpa terasa, termasuk dengan cara survei, adalah sah dan secara ilmiah tidak salah," katanya.

"Yang perlu dihindari adalah memanipulasikan hasil survei tersebut dengan seolah memastikan jagoannyalah yang akan menang. Bila benar, tidak akan menjadi persoalan. Namun bila salah, selain mengecewakan, maka akan melahirkan komunikasi manipulatif yang menyesatkan."

Berita Lainnya
×
tekid