Konten-konten video dengan narasi rekaan yang diproduksi menggunakan Google Veo 3 kian marak.
Video yang dibuat dengan aplikasi Veo 3 kian marak di media sosial. Dengan fitur-fitur unggulan seperti pembuatan audio asli, resolusi 4K, dan efek visual realistis, hasil rekaan aplikasi kecerdasan buatan milik Google itu nyaris tidak jauh berbeda dengan video yang diambil langsung.
Sayangnya, narasi dalam konten video yang dihasilkan kerap memuat potensi masalah. Belum lama ini, misalnya, seorang konten kreator bernama Yulianto Harimurti merilis video bertajuk "umrah ke Borobudur" yang bikin publik marah.
Warga Kota Surakarta itu lantas dilaporkan ke polisi karena bikin konten yang dianggap menyingggung suku, agama, dan ras (SARA). Dari penyelidikan, polisi menemukan Yulianto memproduksi konten "berbahaya" itu hanya demi mempromosikan produk kemenyan miliknya di TikTok.
Di Youtube, video kisah fiktif yang dibuat menggunakan teknologi Veo3 juga marak. Menggunakan kata-kata kunci yang potensial dicari warganet, para konten kreator memproduksi berita-berita fiktif yang berkaitan dengan Front Pembela Islam, GRIB Jaya, dan bahkan ada yang mendompleng polemik kasus ijazah Jokowi.
Pakar komunikasi politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Kunto Adi Wibowo menilai video-video dengan narasi rekaan yang dihasilkan Veo 3 bakal sulit dibendung. Jika tidak diregulasi, Kunto menilai video-video rekayasa itu potensial memicu kerusuhan sosial.