Hasil video artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang diluncurkan Google pada 20 Mei lalu, yakni Veo 3 membuat takjub pelaku bisnis periklanan dan perfilman. Veo 3 mampu membuat video pendek berkualitas bagus hanya bermodal perintah teks.
Seorang videografer yang bergerak di bidang periklanan, Ikbal Yunant, 30 tahun, sudah menerka kehadiran Veo 3. Dia menilai, Veo 3 bakal memberikan dampak baru pada bisnis periklanan.
“Pekerjaan bisnis periklanan yang semua memerlukan kameramen, penyunting, dan mungkin tim kreatif bakal bisa digantikan semuanya oleh Veo 3 ini. Cepat ini dampaknya,” kata Ikbal kepada Alinea.id, Selasa (3/6).
Oleh karena itu, Ikbal merasa, pekerja periklanan harus beradaptasi dengan Veo 3. “Kalau enggak, ya kita enggak bakal bertahan di industri ini,” ujar warga Tanjung Duren, Jakarta Barat tersebut.
Sementara itu, peneliti film Putri Widya Utami menganalisa, kemunculan Veo 3 punya dampak positif dan negatif. Dari sisi positif, visualisasi hasil Veo 3 bisa menjadi media pendidikan. Misalnya, video bertema kerajaan Nusantara yang bertebaran di media sosial.
“Sayangnya, sisi negatif atau setidaknya sisi yang perlu cautious (waspada), itu lebih banyak. Banyak pelaku bisnis menganggap AI itu betul-betul bisa menggantikan semua kinerja dan kreativitas manusia, dianggap akan lebih murah dan singkat,” ujar Putri, Selasa (3/6).
“Padahal, in long run jauh (dalam jangka panjang) lebih merugikan.”
Putri menilai, Veo 3 bisa menjadi ancaman kehidupan sosial dan kreativitas, terutama dalam aspek keamanan data publik dan hak cipta footage yang digunakan. Sebab, sejauh ini video yang dihasilkan Veo 3 dari seniman, belum jelas apakah karya orisinalnya dapat diklaim pembagian pendapatan.
Dari sisi keamanan data publik, AI sejenis Veo 3 punya potensi menjadi alat rekayasa sosial untuk modus penipuan. Contohnya, sudah banyak video dan audio di media sosial yang menyerupai suara asli dari artis tertentu.
“Banyak video di media sosail yang meng-impersonate artis terkenal (yang sampel suaranya ada banyak di ranah publik) dan memakai AI untuk membuat seakan-akan dia berbicara sesuatu di sebuah interview (biasanya untuk promosi sebuah produk atau ideologi),” ucap Putri.
“Padahal, mereka tidak ngomong itu di video bersangkutan.”
Menurut Putri, video yang menyerupai secara visual dan audio buatan AI bukan tidak mungkin dimodifikasi oleh pelaku kejahatan untuk menipu. Dia khawatir, akan banyak terjadi kasus penipuan. Putri pun memprediksi, "adu" kecerdasan buatan yang brutal akan terjadi pada Pemilu 2029 mendatang.
“Kalau saya boleh agak black mirror dooms day, what if AI sudah bisa mereplikasi likeness orang awam untuk membuat video dengan muka, gerakan, dan suara mereka. Penyalahgunaan sangat bisa tereskalasi,” tutur perempuan lulus doktor dari Universitas Kyoto, Jepang itu.
Maka dari itu, Putri menyarankan pemerintah segera merancang regulasi yang memitigasi penyalahgunaan AI untuk penipuan, serta perlindungan terhadap data dan hak cipta. Karya seniman yang dijadikan footage oleh AI, kata dia, mesti mendapat persetujuan dari pihak pembuat awal konten itu.
“Dan juga ada consent (persetujuan) apakah video itu boleh dimodifikasi atau tidak,” kata Putri.
Putri melanjutkan, pernah ada perdebatan menarik yang dia baca di media sosial. Kata dia, di awal internet ada, saat semua orang bisa mengakses data, bisnis besar marah karena publik mengambil karya mereka tanpa membayar dan tanpa consent.
“Sedangkan sekarang, bisnis besar tersinggung publik tidak mau ngasih karya mereka yang tidak dibayar dan tanpa consent saat dipakai secara cuma-cuma lewat AI. Anekdot ini, menurut saya, sangat mengintisarikan the hypocrisy of intellectual property in the eyes of big business (kemunafikan kekayaan intelektual di mata bisnis besar)," kata Putri.
Lebih lanjut, pembagian hasil yang adil dan transparan sekaligus perlindungan data, mesti menjadi salah satu nilai yang harus diatur dalam regulasi AI, yang nantinya ingin diterapkan di Indonesia.
“Perdebatan ini semua kembali ke revenue sharing-nya, transparansi data. Orang mungkin mencemooh seakan-akan itu publik atau NGO (non-governmental organization) tertentu terlalu paranoid, tetapi transparansi itu sebenarnya bisa memberitahukan betapa kita banyak dieksploitasi oleh very select few big business,” ucap Putri.