Permintaan tinggi akan pasangan perempuan membuat praktik perdagangan pengantin meningkat.
Kedutaan Besar China di Bangladesh mengeluarkan peringatan keras kepada warganya untuk tidak terlibat dalam pernikahan lintas negara ilegal dan praktik perjodohan online yang menipu. Imbauan ini disampaikan pada Minggu (26/5), menyusul laporan meningkatnya kasus perdagangan manusia berkedok pernikahan.
Dalam pernyataannya, Kedubes China menolak keras praktik "membeli istri asing", yang belakangan marak terjadi. Kasus-kasus ini banyak melibatkan perempuan dari negara-negara seperti Bangladesh, Nepal, dan Myanmar yang diselundupkan ke China.
Fenomena ini terjadi karena ketidakseimbangan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan di China—masalah demografi yang sudah lama jadi perhatian. Saat ini, jumlah pria usia menikah jauh lebih tinggi daripada wanita, terutama di daerah pedesaan.
Masalah ini berakar dari kebijakan satu anak yang dulu diterapkan pemerintah, ditambah dengan budaya yang lebih mengutamakan anak laki-laki. Pada awal tahun 2000-an, jumlah kelahiran anak laki-laki di China jauh lebih tinggi dibandingkan perempuan, dengan rasio mencapai 121 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Di beberapa provinsi, bahkan lebih dari 130 bayi laki-laki lahir untuk setiap 100 bayi perempuan.
Ketimpangan ini paling terasa di generasi yang lahir pada era 1980-an. Saat itu, penggunaan alat USG mulai meluas, sehingga banyak orang tua memilih menggugurkan kandungan jika janinnya perempuan.