close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Foto: Unsplash
icon caption
Ilustrasi. Foto: Unsplash
Peristiwa
Selasa, 27 Mei 2025 13:18

China peringatkan warganya tidak melakukan pernikahan 'lintas negara ilegal'

Permintaan tinggi akan pasangan perempuan membuat praktik perdagangan pengantin meningkat.
swipe

Kedutaan Besar China di Bangladesh mengeluarkan peringatan keras kepada warganya untuk tidak terlibat dalam pernikahan lintas negara ilegal dan praktik perjodohan online yang menipu. Imbauan ini disampaikan pada Minggu (26/5), menyusul laporan meningkatnya kasus perdagangan manusia berkedok pernikahan.

Dalam pernyataannya, Kedubes China menolak keras praktik "membeli istri asing", yang belakangan marak terjadi. Kasus-kasus ini banyak melibatkan perempuan dari negara-negara seperti Bangladesh, Nepal, dan Myanmar yang diselundupkan ke China.

Fenomena ini terjadi karena ketidakseimbangan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan di China—masalah demografi yang sudah lama jadi perhatian. Saat ini, jumlah pria usia menikah jauh lebih tinggi daripada wanita, terutama di daerah pedesaan.

Masalah ini berakar dari kebijakan satu anak yang dulu diterapkan pemerintah, ditambah dengan budaya yang lebih mengutamakan anak laki-laki. Pada awal tahun 2000-an, jumlah kelahiran anak laki-laki di China jauh lebih tinggi dibandingkan perempuan, dengan rasio mencapai 121 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Di beberapa provinsi, bahkan lebih dari 130 bayi laki-laki lahir untuk setiap 100 bayi perempuan.

Ketimpangan ini paling terasa di generasi yang lahir pada era 1980-an. Saat itu, penggunaan alat USG mulai meluas, sehingga banyak orang tua memilih menggugurkan kandungan jika janinnya perempuan.

Kini, banyak pria dari generasi tersebut yang kesulitan mencari pasangan hidup. Fenomena ini dikenal dengan istilah "shengnan shidai" atau "era pria yang tertinggal". Istilah ini merujuk pada periode antara tahun 2020 hingga 2050, di mana diperkirakan sekitar 30 hingga 50 juta pria China tidak akan bisa menikah karena jumlah perempuan yang jauh lebih sedikit.

Situasinya telah mencapai titik di mana tokoh politik mengusulkan untuk menurunkan usia pernikahan bagi perempuan guna meningkatkan jumlah yang dapat dinikahi.

Perdagangan pengantin meningkat

Permintaan tinggi akan pasangan perempuan membuat praktik perdagangan pengantin meningkat. Banyak perempuan dari negara tetangga "diimpor" secara ilegal ke China. Mereka berasal dari keluarga miskin di desa-desa di Bangladesh, Nepal, Kamboja, hingga Myanmar, dan menjadi sasaran empuk para pedagang manusia.

Para perempuan ini awalnya dijanjikan pekerjaan atau kehidupan yang lebih baik di China. Namun, sesampainya di sana, mereka justru dipaksa menikah. Dokumen mereka disita, dan mereka dijual kepada pria-pria lokal dengan harga antara 5.000 hingga 20.000 dolar AS, tergantung usia dan penampilan.

Meski disebut "pernikahan", banyak dari mereka sebenarnya dipaksa dan tidak pernah memberi persetujuan. Banyak yang kemudian dikurung, mengalami kekerasan seksual, bahkan dipaksa melahirkan anak.

Kesaksian korban

Human Rights Watch (HRW) dalam laporannya tahun 2019 mengungkap puluhan kasus perdagangan pengantin dari Myanmar ke China. Laporan setebal 112 halaman berjudul "Beri Kami Bayi, dan Kami Akan Membiarkanmu Pergi" mencatat kesaksian 37 perempuan korban perdagangan manusia.

Sebagian besar korban berasal dari wilayah konflik di negara bagian Kachin dan Shan utara, Myanmar. Mereka ditipu dengan janji pekerjaan dan kemudian dijual ke pria Tiongkok dengan harga 3.000 hingga 13.000 dolar AS.

Mereka dikurung, diperkosa berulang kali, dan ditekan untuk segera melahirkan. Para korban tidak diperlakukan sebagai istri, melainkan sebagai alat untuk memiliki keturunan.

Tanggapan pemerintah China masih lemah

Meskipun pemerintah China menyadari adanya praktik ini, tindakan tegas belum terlihat. Agen perjodohan secara resmi memang legal, namun mereka dilarang memfasilitasi pernikahan lintas negara. Sayangnya, pengawasan terhadap praktik ilegal ini masih sangat lemah.

Sementara itu, para pria yang sebagian besar bekerja sebagai petani atau buruh kasar, tergoda janji para calo yang menawarkan "istri murah" melalui jasa perjodohan atau paket tur pernikahan. Banyak dari mereka yang merasa tertekan karena belum menikah dan takut dianggap gagal sebagai pria.(indiatoday)

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan