Namun dalam kenyataannya, posisi Rusia di kawasan ini perlahan tergeser.
Di tengah dentuman bom dan asap yang membumbung akibat Operasi Rising Lion yang dilancarkan Israel, para pejabat Rusia tidak tinggal diam. Mereka menyebut eskalasi konflik terbaru di Timur Tengah sebagai sesuatu yang “mengkhawatirkan” dan “berbahaya.” Namun, di balik kekhawatiran itu, cepat atau lambat, muncul perhitungan politik dan keuntungan strategis yang mulai dikalkulasi oleh Moskow.
Media-media arus utama Rusia pun segera menangkap sisi positif dari kekacauan ini. Harga minyak global yang naik tajam, misalnya, dipandang sebagai angin segar bagi perekonomian Rusia yang masih terpukul akibat sanksi Barat. Selain itu, ada harapan terselubung: perhatian dunia yang selama ini tertuju ke Ukraina mulai teralihkan. Salah satu harian ternama, Moskovsky Komsomolets, bahkan menurunkan tajuk utama provokatif: “Kyiv telah dilupakan.”
Lebih jauh, jika upaya Kremlin untuk tampil sebagai penengah diterima oleh para pihak yang bertikai, Moskow dapat mengukuhkan citranya sebagai kekuatan penyeimbang di Timur Tengah, bahkan sebagai pembawa damai—meskipun ironisnya, reputasi itu bertolak belakang dengan tindakannya di Ukraina.
Namun semakin berlarutnya operasi militer Israel, semakin besar pula kesadaran bahwa Rusia tidak hanya berpotensi mendapat untung, tetapi juga menghadapi kerugian besar.
Ilmuwan politik Rusia, Andrei Kortunov, dalam tulisannya di Kommersant memperingatkan bahwa eskalasi ini menyimpan risiko tinggi bagi Moskow.