Babak baru perang urat saraf SBY-Mega

Usai mengklaim keberadaan Mega jadi penghalang merapatnya SBY pada koalisi Jokowi, PDIP membalas SBY dengan menyebutnya andil di Kudatuli.

SBY dan Megawati dikabarkan tak akur sejak lama, sehingga menyebabkan kegagalan bergabungnya SBY ke koalisi Jokowi./ Antarafoto

Pernyataan Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ikhwal keengganan ia merapat pada Jokowi karena keberadaan Megawati, terus menuai balas. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto merespons SBY sebagai sosok melankolis, karena selalu menyalahkan Mega atas ketidakharmonisan hubungan tersebut, saban pemilu. Tak setop di sini, Hasto juga menuding ayah AHY itu sebagai pihak yang andil dalam peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli).

"Kami berharap Pak SBY dapat membukanya, apa yang sebenarnya terjadi?" kata Hasto.

Alasannya, SBY kala itu memegang posisi penting sebagai Kepala Staf Daerah Militer (Kasdam) Jakarta Raya. Sementara, Panglima Daerah Militer Jakarta Raya dipegang Sutiyoso, Hamami Mata bertindak sebagai Kapolda Metro Jaya, dan Faisal Tanjung menjabat Panglima ABRI.

Karena jabatannya itulah, SBY yang saat itu tengah berada di Cibubur mendelegasikan sejumlah aparat untuk menyerbu kantor PDIP di Jalan Diponegoro 58, Menteng, Jakarta Pusat. Lukas Luwarso, mantan wartawan Forum, yang dulu ditugaskan meliput di PDIP mengenang, peristiwa Kudatuli sebagai skenario konyol.

Dikutip Historia, tiga hari jelang pecahnya Kudatuli, SBY menggelar rapat bersama untuk membahas penyerbuan sekretariat PDIP dengan menggunakan pasukan Kodam Jaya. Rezim Soeharto ingin mengesankan, pelaku yang menyerbu dan merebut kantor PDIP adalah kelompok PDI pro-Soerjadi (yang didukung pemerintah). Saat itu, PDIP (masih bernama PDI) memang mengalami dualisme kepemimpinan antara Mega dan Soerjadi. Jadi, disusunlah skenario penyerbuan itu sebagai imbas puncak ketegangan internal partai.