sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Babak baru perang urat saraf SBY-Mega

Usai mengklaim keberadaan Mega jadi penghalang merapatnya SBY pada koalisi Jokowi, PDIP membalas SBY dengan menyebutnya andil di Kudatuli.

Purnama Ayu Rizky
Purnama Ayu Rizky Jumat, 27 Jul 2018 11:43 WIB
Babak baru perang urat saraf SBY-Mega

Pernyataan Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ikhwal keengganan ia merapat pada Jokowi karena keberadaan Megawati, terus menuai balas. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto merespons SBY sebagai sosok melankolis, karena selalu menyalahkan Mega atas ketidakharmonisan hubungan tersebut, saban pemilu. Tak setop di sini, Hasto juga menuding ayah AHY itu sebagai pihak yang andil dalam peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli).

"Kami berharap Pak SBY dapat membukanya, apa yang sebenarnya terjadi?" kata Hasto.

Alasannya, SBY kala itu memegang posisi penting sebagai Kepala Staf Daerah Militer (Kasdam) Jakarta Raya. Sementara, Panglima Daerah Militer Jakarta Raya dipegang Sutiyoso, Hamami Mata bertindak sebagai Kapolda Metro Jaya, dan Faisal Tanjung menjabat Panglima ABRI.

Karena jabatannya itulah, SBY yang saat itu tengah berada di Cibubur mendelegasikan sejumlah aparat untuk menyerbu kantor PDIP di Jalan Diponegoro 58, Menteng, Jakarta Pusat. Lukas Luwarso, mantan wartawan Forum, yang dulu ditugaskan meliput di PDIP mengenang, peristiwa Kudatuli sebagai skenario konyol.

Dikutip Historia, tiga hari jelang pecahnya Kudatuli, SBY menggelar rapat bersama untuk membahas penyerbuan sekretariat PDIP dengan menggunakan pasukan Kodam Jaya. Rezim Soeharto ingin mengesankan, pelaku yang menyerbu dan merebut kantor PDIP adalah kelompok PDI pro-Soerjadi (yang didukung pemerintah). Saat itu, PDIP (masih bernama PDI) memang mengalami dualisme kepemimpinan antara Mega dan Soerjadi. Jadi, disusunlah skenario penyerbuan itu sebagai imbas puncak ketegangan internal partai.

“Skenario itu konyol, karena jelas terlihat yang menyerbu adalah aparat gabungan, polisi dan militer. Namun ending-nya, Butu Hutapea (Sekjen PDI kubu Soerjadi), menyebut diri sebagai komandan lapangan penyerbuan, yang kemudian di depan pers mengklaim telah mengambil alih kantor PDI,” kata Lukas.

Lukas mengaku menyaksikan langsung, Butu Hutapea muncul di area penyerbuan di mimbar bebas setelah huru hara usai. Penyerbuan sendiri berlangsung dari pukul 06.00 pagi, bermula dari munculnya sejumlah orang berseragam hitam merah. Mereka melempar batu bata ke arah kantor, dengan polisi di belakang mereka.

Kelompok tersebut lalu kabur lewat tembok belakang, naik ke atas kantor, sebagian bertahan di dalam kantor dalam kondisi gelap—meski setelahnya dibawa dengan truk yang sudah disiapkan sebelumnya. Kabar kerusuhan sontak pecah. Massa menyemut. Kawasan itu seketika membara, karena massa kocar-kacir direpresi polisi, dengan alat pentungan dan lainnya.

Sponsored

Hampir seluruh pemberitaan dikesankan, pelaku kerusuhan adalah kelompok pro-Soerjadi./ Youtube

Sementara, rezim Soeharto segera cuci tangan dalam Kudatuli, karena sudah terlanjur menjanjikan “era keterbukaan” sejak 1993, atas desakan Dubes AS Paul Wofowitz. Kudatuli disebut-sebut sebagai opera sabun setengah hati, karena selain menyusun skenario konyol, rezim juga tak berani menyingkirkan kelompok pro demokrasi Mega. Lantaran operasi yang setengah-setengah dan melibatkan sejumlah jenderal pula, maka proses hukumnya pun ikut berlarat-larat.

Padahal, peristiwa Kudatuli sendiri menurut laporan Tim Gabungan Pencari Fakta dari Komnas HAM, telah mengakibatkan banyak korban jiwa yang berjatuhan. Sebanyak lima orang meninggal dunia, 149 warga sipil dan aparat luka-luka, sedang 136 orang ditahan. Selain itu, kerugian materiil diperkirakan mencapai Rp100 miliar. Komnas HAM menyebut Kudatuli sebagai pelanggaran HAM berat.

Keberadaan para jenderal dalam insiden itu, termasuk SBY disayangkan Hasto. Sebab, menurutnya aksi penyerbuan kantor PDIP adalah bentuk penghancuran simbol demokrasi di Indonesia, apalagi menggunakan alat-alat kekuasaan negara seperti aparat.

"Kantor partai itu simbol kedaulatan dan menjadi rumah rakyat. Penyerangan kantor partai, apalagi dengan melibatkan aparat negara, itu pelanggaran HAM berat," katanya, dilansir Antara.

Tergerak mendorong pengusutan kasus ini, Hasto yang didampingi Ketua DPP Bidang Hukum Trimedya Panjaitan serta Kepala Badan Bantuan Hukum dan Advokasi Juminart Girsang mendatangi kantor Komnas HAM di Jalan Latuharhari Menteng, Jakarta, Kamis lalu. Ia berharap dalang peristiwa itu segera terungkap, langkah politik dan langkah hukum yang konkret dilakukan, serta penanganan terhadap para korban. "Kami prihatin bahwa peristiwa besar seperti ini tidak terselesaikan," kata Hasto.

Sementara itu, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan berterima kasih kepada PDIP karena telah memberikan dukungan moral dan politik untuk menyelesaikan kasus Kudatuli. Menurut Ahmad, Komnas HAM pernah melakukan pemantauan terhadap kasus pelanggaran HAM berat itu. Bahkan, sudah memberikan rekomendasi kepada aparat penegak hukum. "Memang sampai saat ini belum sepenuhnya memperoleh solusi nyata," katanya.

Ahmad juga menyampaikan keprihatinannya kepada para korban peristiwa Kudatuli yang mayoritas adalah massa pendukung PDI Pro-Mega. "Korban peristiwa Kudatuli, ada yang meninggal dunia dan banyak yang cedera. Para korban belum sepenuhnya mendapatkan perhatian dari negara," katanya.

Hasto sendiri telah mengirim surat ke Komnas HAM sejak dua pekan lalu, sebelum pertemuan dilakukan. Ia menampik upaya pengungkapan Kudatuli terkait dengan dinamika politik saat ini. ”Kami berharap, pihak-pihak saat itu, termasuk Pak Susilo Bambang Yudhoyono, daripada terus berbicara soal koalisi partai, baiknya bicara arah masa depan bangsa, yakni membuka apa yang sebenarnya terjadi saat itu. Sebab, dia memegang informasi,” kata Hasto.

Berita Lainnya
×
tekid