Bubarnya FPI dan matinya oposan jalanan

Saat ini sulit mencari ormas yang kritis terhadap pemerintah.

Massa dari berbagai daerah yang hendak menjemput Imam Besar FPI Rizieq Shihab memadati akses tol menuju bandara Soekarno-Hatta, di Tangerang Banten, Selasa (10/11/2020). Foto Antara/Muhammad Iqbal.

Pemerintah resmi melarang Front Pembela Islam (FPI) beraktivitas mulai hari ini, Rabu (30/12). Alasannya, FPI sudah bubar secara de jure sebagai organisasi masyarakat (ormas) sejak 21 Juni 2019 dan merujuk putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82 PUU-XI/2013.

Terkait hal itu, pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta, Adi Prayitno menilai bubarnya FPI tersebut menjadi penanda bagi matinya oposisi jalanan.

"Setelah FPI bubar akan sulit mencari ormas yang kritis dan mendemo (kebijakan) pemerintah. Akan jadi era matinya oposan jalanan. Mahasiswa, LSM, dan civil society nyaris tak pernah keliatan sikap kritisnya," ujarnya kepada Alinea.id, Rabu (30/12).

Meski FPI bubar, sambung Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia ini, potensi munculnya ormas yang sama dengan nama lain sangat mungkin terjadi. Apalagi aktor dan jaringannya masih hidup dan kuat.

"Potensial reborn dengan nama baru. Karena aktor dan jejaringannya masih kuat. Ini yang perlu diwaspadai pemerintah. Jangan sampai hanya nama FPI saja yang bubar, tapi potensi munculnya jenis FPI juga harus dibaca, karena aktornya masih ada," jelasnya.