Dari PPP ke Demokrat: Bagaimana rezim Jokowi mengobok-obok parpol

SK kepengurusan yang dikeluarkan KemenkumHAM jadi salah satu indikasi intervensi pemerintah dalam konflik internal parpol. 

Ilustrasi intervensi pemerintah dalam konflik parpol pada era Jokowi. Alinea.id/Bagus Priyo

Saat konflik di Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kian memanas pada  pertengahan 2016, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhyono (SBY) turut angkat suara. Meski tak menyebut nama, SBY menyatakan ada menteri Jokowi yang ikut campur dalam konflik tersebut. 

"Andai kata seperti pemerintahan saya dulu selama sepuluh tahun, saya pastikan pemerintahan yang saya pimpin, memastikan menteri-menteri tidak boleh take side di kubu mana pun. Jika ada sengketa di parpol, UU-nya ada. Kalau dibawa ke hukum ada keputusan hukum," kata SBY dalam keterangan tertulis kepada media di Jakarta pada 13 Maret 2016.

Ketika itu, konflik di tubuh PPP dan Golkar memang terkesan tak berujung. Di partai Golkar, konflik bermula dari terpilihnya Aburizal Bakrie (Ical) sebagai ketum di munas Bali pada 2014. Terpilihnya Ical ditolak sejumlah kader yang dipimpin Agung Laksono. Munas tandingan digelar di Ancol dan Agung disepakati sebagai ketum. 

Berbeda dengan kubu Ical yang memilih berada di barisan oposisi, kubu Agung cenderung pro Jokowi-JK. Pada 2015, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KemenkumHAM) mengeluarkan surat keputusan (SK) mengesahkan kepengurusan kubu Agung. SK itu digugat kubu Ical. Dualisme kepengurusan pun bertahan. 

Konflik serupa juga terjadi di PPP selepas tertangkapnya mantan Ketum PPP Surya Dharma Ali (SDA) karena kasus korupsi pada 2014. Sekjen PPP ketika itu, Rommahurmuziy alias Rommy memecat SDA. Kubu Rommy kemudian menggelar muktamar di Surabaya dan menahbiskan Rommy sebagai Ketum PPP yang baru.