DPR dipandang masih berwajah oligarki 

Pergantian anggota DPR tidak serta merta berarti kinerja penghuni Senayan bakal membaik.

Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirajuddin Abbas (kiri) dalam diskusi di kantor Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Matraman, Jakarta Pusat, Senin (14/10). Alinea.id/Fadli Mubarok

Peneliti dari Saiful Mujani Research Centre (SMRC) Sirajuddin Abbas mengatakan, pergantian personel Gedung Parlemen tidak serta merta berarti anggota DPR periode baru bakal lebih baik kinerjanya. Selama kultur oligarki masih dipertahankan parlemen dan partai politik, ia pesimistis, bakal ada perbaikan kinerja. 

"Demokrasi kita ini masih ibarat belajar jalan. Itu artinya kalau kita berharap demokrasi akan cepat ideal, itu mimpi. Sebaiknya kita jangan mimpi, realistis saja. Kalau saat ini demokrasi kita masih dikuasai oligarki, maka pada saat yang sama institusi demokrasi dikuasai oligarki pula,” ujar Sirajuddin dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (14/10). 

Menurut Sirajuddin, hampir mustahil anggota DPR baru bisa mengubah budaya kerja yang sudah terbangun puluhan tahun di Senayan. Apalagi, kursi pimpinan Gedung Parlemen umumnya masih diisi oleh muka-muka lama. "Karena di dalam sendiri sudah ada hierarki otoritas," imbuhnya. 

Menurut Sirajuddin, politik oligarki terlihat jelas dari kesepakatan-kesepakatan yang dicapai anggota DPR dan pemerintah, beberapa waktu lalu. Ia mencontohkan kesepakatan merevisi Undang-Undang MD3 demi menambah jumlah pimpinan MPR RI menjadi 10 orang.

"Yang bisa ambil keputusan oligarki ini bisa diterima atau tidak, ya, partai-partai di parlemen. Jika tidak ada tekanan publik yang cukup besar terhadap itu, hanya cukup sebagai katarsis saja, sebagai berita saja tapi tidak mengubah banyak hal. Maka, dibutuhkan kesadaran publik cukup besar," ujar dia.