Masinton klaim pasal penghinaan presiden dibutuhkan

Pembahasan RUU KUHP ini masih berlangsung di Komisi III DPR.

Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu menilai pasal penghinaan presiden dan wakil presiden masih diperlukan di Indonesia./Antara Foto

Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu mengatakan, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden masih diperlukan di Indonesia. Meski begitu, Masinton menyebut tak ada niat untuk membungkam pengkritik dalam dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang tengah digodok tersebut.

"Ya gak apa-apa, masih dibutuhkan. Setiap negara butuhkan itu," kata Masinton kepada Alinea.id di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/9).

Masinton mengatakan, Komisi III telah menyepakati RUU KUHP itu menjadi delik aduan. Artinya, kata Masinton, tidak semua orang menggunakan pasal ini untuk melaporkan siapa saja yang dianggap menghina kepala negara.  

"Cuma kan diatur, dari delik umum jadi delik aduan. Delik aduan tidak sembarang orang adukan, karena harus mendapat kuasa dari presiden atau wapres (wakil presiden)," kata politisi PDIP ini.

Pembahasan RUU KUHP ini masih berlangsung di Komisi III DPR. Namun, upaya ini dinilai untuk menghidupkan kembali hukum di era kolonial yang oleh banyak pengkritik menyebutnya akan menjadi alat kriminalisasi dan membatasi kebebasan berpandapat, yang mirip dengan hukum lèse-majesté di Thailand.