Gagalnya indoktrinasi Manipol-USDEK di perguruan tinggi

Manipol-USDEK diperkenalkan di kampus karena mahasiswa dianggap sebagai penggerak revolusi Indonesia.

Presiden Sukarno berpidato pada 1950-an./Foto Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1988) karya Cindy Adams.

Usai melantik Soeharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara, Jakarta pada 16 Oktober 1965, Presiden Sukarno menyinggung peristiwa 30 September 1965—tragedi berdarah yang menewaskan enam jenderal dan satu perwira TNI AD di Lubang Buaya. Ia menyindir pemberitaan di luar negeri bahwa dirinya telah disingkirkan dan jatuh karena peristiwa itu.

Dalam kesempatan tersebut, Sukarno pun menyampaikan perihal Manifesto Politik-UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (Manipol-USDEK). Ia memerintahkan, Soeharto bisa memimpin Angkatan Darat yang berdiri di atas prinsip Manipol-USDEK.

“Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai halauan negara,” ujar Sukarno dalam pidato yang termuat di buku Revolusi Belum Selesai (2014), yang disunting Budi Setiyono dan Bonnie Triyana.

“Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah halauan daripada negara, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita.”

Konsep Manipol-USDEK