close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pasukan Napoleon. /Foto Pixabay
icon caption
Ilustrasi pasukan Napoleon. /Foto Pixabay
Sosial dan Gaya Hidup
Selasa, 28 Oktober 2025 11:15

Jejak patogen di balik kehancuran pasukan Napoleon

Penelitian DNA purba dari gigi tentara Napoleon yang tewas saat mundur dari Rusia tahun 1812 mengungkap dua patogen tak terduga: Borrelia penyebab demam kambuhan dan Salmonella penyebab paratifoid.
swipe

Musim dingin 1812 memahat salah satu bab paling kelam dalam sejarah Eropa. Di tengah salju yang tak bertepi dan langit yang memutih, pasukan Napoleon Bonaparte yang dulu menaklukkan setengah benua, perlahan-lahan luluh lantak di jalan pulang dari Rusia. 

Puluhan ribu prajurit tewas, bukan karena peluru atau pedang, melainkan oleh dingin yang menggigit, kelaparan, kelelahan, dan penyakit yang menjalar dari tubuh ke tubuh seperti kutukan yang tak terlihat.

Selama lebih dari dua abad, sejarawan dan dokter meyakini bahwa dua penyakitlah yang paling banyak merenggut nyawa pasukan itu: camp fever—yang kini dikenal sebagai tifus—dan trench fever, demam parit yang sering menghantui medan perang. Namun penelitian terbaru justru mengguncang keyakinan lama itu.

Ketika sekelompok ilmuwan menganalisis DNA purba dari 13 gigi yang diambil dari jasad para prajurit di kuburan massal Vilnius, Lithuania, mereka tidak menemukan jejak tifus sama sekali. Sebaliknya, mereka menemukan dua jenis bakteri lain—dua musuh yang diam-diam ikut menyerang Napoleon dari dalam tubuh tentaranya.

“Sejujurnya, kami berharap menemukan tifus,” kata Nicolás Rascovan, paleogenetikus dari Institut Pasteur, Paris, sekaligus penulis utama studi yang dipublikasikan di jurnal Current Biology itu, seperti dikutip dari National Geographic. “Tapi hasil terbaik sering kali justru yang paling tak terduga.”

Bakteri pertama yang mereka temukan adalah spesies Borrelia, kerabat dari bakteri penyebab penyakit Lyme. Jenis ini disebarkan oleh kutu badan dan memicu penyakit langka bernama relapsing fever—demam yang datang dan pergi, melemahkan tubuh hingga ke batasnya.

Yang kedua adalah Salmonella enterica, penyebab paratyphoid fever, penyakit mirip tifus dengan gejala demam, ruam, dan diare, namun menular bukan lewat kutu, melainkan lewat air dan makanan yang terkontaminasi tinja.

Namun, Rascovan berhati-hati. Ia mengingatkan bahwa 13 sampel hanyalah "setetes" dalam lautan lebih dari 3.000 jasad di kuburan tersebut. Temuan itu bukan berarti tifus tak hadir di antara mereka, melainkan memberi petunjuk bahwa tubuh-tubuh itu mungkin sedang diserang oleh lebih banyak patogen daripada yang pernah dibayangkan sejarah.

Temuan ini, bagi sebagian ilmuwan, membuka bab baru dalam cara kita memahami penderitaan pasukan Napoleon. “Ini bukti lain betapa kuatnya analisis DNA purba untuk menelusuri penyakit masa lalu,” ujar Alexandra Buzhilova, antropolog dari Universitas Negeri Moskow yang pernah meneliti gigi tentara Napoleon di Kaliningrad.

Lucy van Dorp, ahli genetika dari University College London, menilai penelitian ini bisa membuka jalan untuk mengidentifikasi bakteri penyebab demam lain di masa lalu. “Kita baru melihat puncak gunung es,” katanya.

Napoleon menyerang Rusia terutama karena Rusia melanggar sistem kontinental, sebuah embargo ekonomi yang dirancang untuk melemahkan Inggris. Napoleon marah karena Tsar Alexander I mulai kembali berdagang dengan Inggris. 

Ia juga khawatir Rusia bakal menginvansi Polandia. Napoleon mengerahkan sekitar 615.000 hingga 650.000 pasukan untuk menyerang Rusia. Jumlah pasukan ini terdiri dari berbagai negara Eropa, termasuk Prancis, dan merupakan kekuatan militer terbesar yang pernah ada saat itu.

Pemimpin Prancis Napoleon Bonaparte. /Foto Wikimedia Commons

Catatan sejarah

Salah satu sumber sejarah mengenai wabah yang membekap pasukan Napoleon ditemukan dalam buku karya seorang dokter tentara bernama Joseph Romain Louis de Kirckhoff yang terbit pada 1836. Ia menyebut rumah sakit di medan perang sebagai “kubangan penderitaan dan infeksi.” 

Dalam catatan yang getir sekaligus jujur, ia menyalahkan pakaian kotor, makanan busuk, kelelahan, dan tempat penampungan yang sesak sebagai penyebab wabah. Ia bahkan menuding bit fermentasi—yang direbut para prajurit dari rumah penduduk—sebagai biang keladi diare yang tak henti-henti.

Pada 1812, dunia belum mengenal konsep mikroorganisme. Penyakit diyakini muncul “spontan” dari kotoran dan menyebar lewat udara busuk. Louis Pasteur baru akan membuktikan kekeliruan teori itu puluhan tahun kemudian. 

Tapi, bahkan Kirckhoff pun sempat mencatat sesuatu yang mendekati kebenaran: banyak warga Lyozna jatuh sakit setelah kedatangan pasukan Napoleon.

Dan ketika sebagian pasukan yang selamat meninggalkan Vilnius, penderitaan itu belum berakhir. “Ke mana pun kami pergi sepanjang Januari dan Februari, kami membawa panik dan kematian,” tulis Kirckhoff. 

Penduduk lokal, katanya, “dipaksa menampung dan memberi makan kami, lalu menjadi korban wabah yang mematikan—hadiah fatal yang kami tinggalkan.”

Dua abad kemudian, sisa-sisa penderitaan itu masih berbicara lewat DNA yang tersimpan di dalam gigi. Ia mengingatkan bahwa sejarah bukan hanya kisah tentang ambisi dan kekuasaan, tapi juga tentang tubuh-tubuh rapuh yang menjadi ladang bagi mikroba, cuaca, dan kesalahan manusia.

 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan