Izin berbelit, penyadapan KPK rentan bocor 

Revisi UU KPK dapat melumpuhkan sistem kolektif kolegial para pimpinan KPK.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo (kiri) bersama Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (kanan) bersiap memberikan keterangan pers tentang revisi UU KPK yang akan dilakukan DPR. Antara Foto

Penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rentan bocor jika Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi benar-benar direvisi oleh DPR. Pasalnya, dalam draf revisi UU KPK, upaya penyadapan nantinya akan memakan waktu cukup lama dan berbelit-belit. Dikhawatirkan, penyadapan yang dilakukan KPK rentan terjadi kebocoran.

Mantan Ketua KPK, Abraham Samad, mengatakan revisi UU KPK dapat melumpuhkan sistem kolektif kolegial para pimpinan KPK dalam mengambil keputusan. Hal itu dapat dilihat dari salah satu poin draf revisi UU KPK mengenai penyadapan.

“Jadi, sistem kolektif kolegial kelima pimpinan KPK adalah bagian dari sistem pengawasan itu. Memperpanjang alur penyadapan dan melibatkan izin Dewan Pengawas sangat tidak perlu. Risikonya, penyadapan bisa bocor sebelum dijalankan,” kata Samad di Jakarta pada Jumat (6/9).

Menurut Samad, perumus naskah revisi UU KPK tidak paham mengenai standar operasional prosedur (SOP) penyidikan, termasuk penyadapan. Dia menerangkan, SOP untuk melakukan penyadapan di lembaga antirasuah itu harus melalui berbagai izin, mulai dari Kepala Satuan Tugas (Kasatgas), Direktur Penyidikan KPK, Deputi Penindakan KPK, hingga kelima pimpinan KPK.

Menurut dia, tidak ada urgensinya penyadapan harus mendapat izin juga dari Dewan Pengawas. Dia pun lebih lanjut mengaku heran dan mempertanyakan DPR yang memuat aturan tentang perlu adanya Dewan Pengawas untuk KPK. Samad menilai ada kejanggalan dengan hal yang mendasari DPR mencantumkan pembentukan dewan tersebut ke dalam RUU KPK.