Janggalnya rapat paripurna yang ketok usul revisi UU KPK

Revisi UU KPK yang disepakati sebagai RUU inisiatif DPR dinilai sebagai serangan terhadap KPK.

Ekspresi sejumlah angggota DPR saat menyerahkan pandangan tertulis fraksi terkait Revisi UU KPK pada Rapat Paripurna Masa Persidangan I Tahun Sidang 2019-2020 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (5/9). /Antara Foto

Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menilai usulan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disepakati DPR cacat prosedural. Menurut Ray, DPR mengusulkan revisi tanpa ada kesepakatan dari pemerintah. 

Dalam membahas revisi UU KPK, pemerintah diwakili oleh Luhut Binsar Pandjaitan yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Presiden (KSP). Ray mengatakan, Luhut tidak tepat menjadi perwakilan pemerintah dalam menyepakati revisi itu bersama DPR RI.

"Kalau dilihat dari kewenangan tupoksi dari KSP itu tidak mewakili pemerintah dalam forum legislasi. Jadi, aneh juga kalau dasar itu dipakai DPR untuk mengatakan telah ada kesepakatan," ungkap Ray di kantor Transparency International Indonesia, Pejaten Barat, Jakarta Selatan, Jumat (6/9).

Selain itu, Ray menilai lembaga legislator telah melanggar aturan dengan menggulirkan kembali rencana akan merevisi UU KPK setelah resmi ditunda sejak 2017. Jika tidak dibahas dalam satu tahun, menurut Ray, seharusnya RUU diajukan kembali dan mengikuti proses pembahasan seperti semula. 

"Mau istilahnya ditunda, dibatalkan, atau ditangguhkan itu kan cuma istilah. Tetapi, pengajuannya harus kembali ke awal. Misalnya harus melalui Baleg dulu, nanti disepakati paripurna. (Dari) paripurna masuk ke Prolegnas, baru dibahas. Itu prosesnya. Nah, ini enggak mereka (DPR) lalui," jelas  Ray.