Mengurai perjalanan negara bangsa di tangan Muslim

Indonesia Leaders Forum jilid I mengajak warga untuk mengurai kembali pergerakan Islam. Pun meredefinisi sosok pemimpin Muslim di Indonesia.

Sejumlah tokoh hadir dalam diskusi IFL seperti Anies Baswedan, Anis Matta, Muhaimin Iskandar, dan Fadli Zon. (Ayu/Alinea)

Medio 1921 setelah kerusuhan di Garut meletus, Tjokroaminoto ditahan di lapas Kalisosok Surabaya untuk diinterogasi. Saat itu Hindia Belanda tengah berupaya menarik dukungan massa di tanah jajahan, karena terdesak oleh sekutu. Mereka memberlakukan episode gerakan politik etis sebagai balas budi atas penderitaan yang timbul di era tanam paksa. Namun itu tak serta merta melenyapkan kemiskinan dan kesenjangan antar-ras. Tak heran jika letupan kecil maupun skala besar kerap muncul di zaman ini. Adalah Tjokro, tokoh muslim dari Serikat Islam—dulunya Serikat Dagang Islam yang dibuat Haji Samanhudi—yang lantang menentang feodalisme tersebut.

Menurutnya, penderitaan tak akan tumpas jika feodalisme masih bercokok di bumi Nusantara. Kendati dibungkus dengan kemasan paling humanis sekalipun, penjajahan tetap harus dihapuskan. Ia bahkan menolak bentuk feodalisme paling kecil, seperti laku dodok berjalan di muka bangsawan, pun rela meninggalkan gelar radennya. Jika menonton film besutan Garin Nugroho “Guru Bangsa Tjokroaminoto” (2015), sikap kritisnya tampak dari upaya penyelamatannya pada jongos yang disiksa majikannya.

Hingga ia menetap di Surabaya pun, mantan mertua mendiang Soekarno itu, tetap konsisten melagukan nasionalisme melawan penjajah. Gagasan utamanya, membentuk jiwa nasionalisme untuk kedaulatan Indonesia. Langkah pertamanya adalah mengubah Sarekat Dagang Islam (SDI), jadi Sarekat Islam (SI) sebagai wadah politik.

Ia juga Muslim yang memperkenalkan perkawinan Islam dan sosialisme pertama di Indonesia. Mustafa Kemal Pasha (2002) menulis, Tjokroaminoto memandang Islam dan sosialisme sebagai dua kutub beriringan. Menurutnya, sosialisme sempurna jika masing-masing orang tidak hidup untuk dirinya sendiri, laiknya binatang atau burung, namun untuk keperluan bersama. Itulah dasar yang ia pancang tentang gagasan nasionalisme di Indonesia kala itu.

Gagasan nasionalisme ini kemudian direpetisi oleh sejumlah tokoh negara lain yang kebetulan indekos di rumah Tjokro di Peneleh Surabaya. Mereka adalah Soekarno, Semaoen, Musso, Ahmad Dahlan, dan Haji Agus Salim. Tokoh-tokoh Muslim tersebut menjadi segelintir orang yang berperan mengantar Indonesia pada kemerdekaan. Meski belakangan Semaoen dan Musso memerahkan SI lalu pecah menjadi organisasi sendiri bernama Partai Komunis Indonesia (PKI), namun perjuangan mereka, mengutip Soe Hok Gie (1997) laik dicatat.