Pasal kumpul kebo ancam masyarakat adat dan orang miskin

Kini, kepala desa pun boleh melaporkan kasus kumpul kebo ke polisi.

Sekelompok warga dari Aliansi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Demokrasi melakukan aksi saat berlangsungnya Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (15/9). /Antara Foto

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menolak substansi pasal-pasal yang mengatur kohabitasi atau yang kerap disebut kumpul kebo dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP. Direktur Eksekutif ICJR Anggara mengatakan, pasal-pasal kumpul kebo mengancam puluhan juta masyarakat adat yang tidak memiliki dokumen pernikahan resmi. 

"Bahaya yang sama juga dialami 55% pasangan menikah di rumah tangga miskin yang selama ini kesulitan memiliki dokumen perkawinan resmi," kata dia dalam keterangan resmi yang diterima Alinea.id di Jakarta, Rabu (18/9). 

Menurut Anggara, kriminalisasi terhadap tindak pidana kohabitasi dalam pasal 419 RKUHP sebelumnya telah dikunci oleh tim perumus dengan delik aduan absolut. Pengaduannya hanya dapat dilakukan oleh suami, istri, orang tua, dan anak.

Namun, ketentuan tersebut berubah setelah pemerintah dan DPR membahasnya di rapat terutup pada 14-15 September 2019. Kini, kepala desa atau dengan sebutan lain yang setara dengan jabatan kepala desa diperbolehkan melapor ke polisi. 

"Adanya penambahan unsur kepala desa tersebut malah akan semakin memperlebar celah kesewenang-wenangan dalam urusan privasi warga negara," jelas Anggara.