Pilpres dinilai rawan isu SARA, PAN membantahnya

Undang-Undang Pemilu juga perlu direvisi dan mengakomodir aturan mengenai sanksi pidana bagi mereka yang mempergunakan isu SARA 

Diskursus mengenai isu SARA di ranah politik selalu menjadi perbincangan menarik. Apalagi jika masing-masing pihak memiliki argumen yang disertai data pendukung./Robi Ardianto

Pilkada Jakarta dinilai memberikan efek negatif, terutama karena mencuatnya politik identitas yang dijadikan komoditas politik. Ada indikasi politik identitas akan kembali dimunculkan pada Pilpres 2019.

"Nah ini terus dimainkan sampai Pilpres 2019, karena dilihat kelemahan terbesar Jokowi adalah relasinya dengan kelompok Islam politik. Jokowi dianggap tidak mempunyai kekuatan dalam masa Islam," jelasnya di UP2YU Resto n Cafe, Cikini, Jakarta, (12/5).

Padahal fakta sebenarnya, mayoritas Islam di Indonesia adalah moderat, Islam Indonesia justru mendukung Jokowi. Sebagai contoh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.  Namun, ada segelintir oknum yang merasa tidak nyaman dengan kepemimpinan Jokowi. 

Boni mengklaim telah melakukan analisa dan evaluasi serta kajian yang cukup mendalam selama dua tahun terakhir. Hasilnya, ternyata ada korelasi yang cukup kuat antara kelompok ideologis yang memperjuangkan syariat Islam dan kelompok politik di parlemen dan ormas. Hal itu tidak secara formal, melainkan secara emosional

Terbukti, saat gerakan '411' dan '212', terjadi pengumpulan masa yang di luar dugaan. Ada dugaan, gerakan tersebut tidak hanya untuk mengambil alih kekuasaan pemerintahan saat ini, akan tetapi juga ingin mengganti dasar negara. Terlihat dari wacana yang dibangun adalah ketidakadilan, demokrasi pancasila dan sebagainya.